-----

Pedagang Asongan

Selasa, 24 Januari 2004
Aktivitas yang dilakukan

Datang ke RS Dr Sutomo, pk. 10.30. Keliling mencari pedagang asongan dari lantai 1 sampai lantai 3. mereka kelihatan sedang membawa barang dagangan dan naik menuju lantai atas, tapi setelah dikejar, tidak ditemukan. Saya keliling lagi, dari poli paru-paru, poli mata, poli jantung, sampai di tempat penyakit menular dimana disana anak-anak sehat dilarang masuk. Pk. 11.35, saya bertemu dengan seorang pria (berusia sekitar 30 terhadap) yang berjualan permen dan telur puyuh (didekat ruang tunggu ambil obat). “Pak, beli permennya, brapa-an?”. Saya bertanya. “Oh, ini rata-rata sewu. Ada kopiko, gulas, nano-nano, ini … milkita, ini … banyak. Mau yang mana?” Jawab bapak tersebut. “Mm … ambil nano-nano sama hexos aja deh”. Saya kemudian mengeluarkan uang Rp 4000,- untuk membeli barang dagangannya. Saya kemudian melanjutkan bertanya mengenai barang dagangannya. Pak Minto, nama Bapak tersebut, menjelaskan bahwa ia mengambil barang untuk dijual dari kantin di lantai 3. “Ini dari kantin diatas, dilantai 3. Setiap pagi, datang ambil barang disana trus jualan. Nanti sekitar jam 2 atau setengah 3, saya mesti setor ke sana.” Setelah ditanya berapa keuntungan yang didapatkan. Subyek menjawab bahwa keuntungan yang didapat sekitar Rp 100.000,- dan terkadang lebih. Dan ketika ditanyakan apakah itu sudah merupakan keuntungan bersih. Subyek dengan tersenyum, menjawab: “Eh, … salah. Itu hasil jual saya. Saya kan ambil barang di kantin, belum saya bayar. Misalnya ini telur puyuh saya ambil harga Rp 750, saya jual … ya … nggak Rp 750 … tapi lebih. Pas ini (sambil menunjuk lantai) mau tutup, ya jam 2 atau lebih-lebih, saya setor ke kantin. Bayar permen yang laku sama telur puyuh ini. untungnya, ya … kalau laku, saya bisa bawa pulang uang banyak, Rp 20.000,- sampai Rp 30.000,-. Kalau sepi, mungkin Rp 10.000,-. Ini, saya mau permisi, jualan lagi, bisa?” Saya kemudian mengatakan: “Oh, iya … maaf mengganggu Pak Minto mau jualan”. Subyek tersenyum dan mengatakan itu bukan masalah, karena saya, orang Cina yang berbicara di RS ini pertama kali, apalagi saya sudah membeli permennya (barang dagangannya). Saya kemudian menanyakan kapan saya bisa bertemu dengan subyek agar bisa bercerita lagi. Subyek mengatakan: “Jam 2 siang aja, saya atau bertemu di kantin besok … biar bisa cerita banyak. Saya sudah selesai jual kalau jam itu.” Setelah janjikan bahwa saya akan datang besok jam 2 siang, saya kemudian berpisah dengan subyek dan pergi menghampiri teman saya yang sedang berdoa di ruang bedah mayat



Apa yang didapatkan

Para pedagang asongan tersebut giat bekerja. Mereka berkeliling dan terus berjualan sambil menahan rasa lelah, naik turun dari lantai 1 sampai lantai atas, sambil membawa barang dagangan mereka.mereka mencari tempat yang ramai untuk berjualan. tersebut giat bekerja. Mereka berkeliling dan terus berjualan sambil menahan rasa lelah, naik turun dari lantai 1 sampai lantai atas, sambil membawa barang dagangan mereka. Mereka mencari tempat yang ramai untuk berjualan. Mereka yang berjualan permen, biasanya mendekati anak-anak dan mulai ‘menunjukkan kelihaian’ menawarkan permen kepada anak-anak. Meskipun terlihat agak kusut dan lelah, mereka tetap tersenyum dan ramah (mungkin untuk menarik pelanggan). Pedagang asongan (subyek) merasa senang jika ada yang memperhatikannya, entah itu lewat membeli barang dagangan mereka, ataupun mengajak bercerita. Coba saja, beli beberapa bungkus permen dan ajak mereka bercerita. Pasti disambut dengan ramah dan kelihatan senang. Subyek bekerja tanpa beristirahat, dari pagi sampai siang. Memang, terkadang duduk sebentar untuk melepas penat. Pekerjaan seperti ini, tentu saja membutuhkan tenaga yang cukup besar, karena terus berjalan berkeliling sambil menawarkan barang dagangan. Bayangkan saja, setiap hari berjalan kurang lebih 6 jam lamanya. Keuntungan yang diperoleh sangat variatif dari hari ke hari. Biasanya berkisar antara Rp 10.000,- sampai Rp 30.000,-. Itupun harus diimbangi dengan usaha keras berkeliling sambil membawa keranjang/kotak dagangan dan menawarkan barang. Bagi subyek, waktu yang dimilikinya sangat berharga. Pagi sampai siang adalah waktu kerja, untuk mendapatkan uang. Jika mau mengajak subyek berbincang-bincang, harus menunggu ia selesai bekerja (selesai membayar ke kantin). Meskipun subyek merasa senang jika diajak bercerita dan merasa senang jika ada yang memperhatikannya dengan membeli barang dagangannya, subyek tetap menghargai waktu yang tersedia untuk terus/tetap melanjutkan pekerjaan. Subyek sangat ramah, dan menawarkan diri untuk bercerita jika ia sudah selesai kerja (jam 2 siang).



Refleksi

Demi mendapatkan uang untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat, setiap orang memiliki cara sendiri, sesuai dengan keahlian dan kemampuan yang dimiliki. Subyek giat bekerja dan tidak mengenal lelah, meskipun harus berjalan sambil membawa keranjang/kotak yang berisi barang dagangan. Tuntutan hidup dan persaingan yang ketat membuat seseorang ataupun setiap kita harus mengorbankan tenaga untuk mendapatkan nafkah agar dapat bertahan hidup. Karenanya, lelah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Walaupun lelah, senyum tetap menghiasi wajah subyek (mungkin ini merupakan suatu cara untuk menarik pelanggan; karena setiap orang yang berbelanja, ingin dilayani dengan baik subyek yang merasa bahwa keadaan kehidupannya yang berada dibawah standar kehidupan rata-rata, menjadikannya “haus” akan perhatian. Dengan melihat keadaan subyek yang demikian tapi dirinya masih mampu mengembangkan senyum di wajah, membuat kita sadar, standar kebahagiaan untuk setiap orang berbeda. Jika kita ditempatkan pada posisi seperti subyek, apakah kita masih mampu tersenyum? Memberikan senyum kita kepada orang lain?


Kekurangan saya

Hari pertama ini, saat tiba di RS, saya kurang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Semula saya sempat kaget, melihat situasi di dalam RS yang sangat ramai dan pengap, serta terkesan “sumpek”. Karena keadaan yang demikian, saya agak waspada dan kurang memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya saya cari. Setelah berbincang sebentar dengan teman saya (dokter muda) yang sedang mengambil kuliah forensik di RS tersebut dan ia memberikan semangat; saya lebih berbesar hati dan berkonsentrasi pada apa yang saya cari. Teman saya kemudian meninggalkan saya karena harus menuju ke ruang bedah mayat. Saya kemudian mencari subyek dengan berkeliling RS

Rabu,
28 Januari 2004
Datang ke RS, Pk. 14.10, saya langsung menuju kantin yang terletak dilantai 3. Di depan kantin, subyek sedang duduk menghitung uang. “Siang, Pak Minto, sudah selesai kerja?” Saya kemudian menyapa subyek. Setelah mendapatkan jawaban dari subyek kalau dirinya sudah selesai berjualan, saya menanyakan bagaimana kabar subyek. Subyek mengatakan dirinya sehat walafiat. Subyek melanjutkan bercerita, ketika ditanya awal ia berjualan di RS ini. subyek mengatakan bahwa istrinya berjualan di warung, anaknya yang pertama sekolah dan sekarang sedang duduk di bangku SMP. Anaknya yang ke dia masih duduk di bangku SD kelas 3. subyek mengatakan bahwa hidup ini susah dan banyak tekanan. Selain itu, ia juga merasa kesulitan dengan keadaan ekonominya, dimana penghasilan yang diperolehnya tidak mencukupi untuk kebutuhan pendidikan dan kebutuhan sehari-hari jika ia hanya mengandalkan warung istrinya. Akhirnya ia berusaha mencari jalan lain. Subyek sebelumnya pernah bekerja di suatu perusahaan pemerintah sebagai tenaga cleaning service. Pekerjaan tersebut tidak dilanjutkannya karena ia mengatakan gajinya sangat kecil dan subyek sama sekali tidak dihargai oleh para atasan, dirinya dianggap sangat rendah. Akhirnya, ketika anak pertamanya (waktu masih kelas 2 SD) sakit dan harus diperiksa di RS, subyek melihat beberapa orang yang berjualan di RS Dr Sutomo tersebut (sebagai pedagang asongan). Melihat itu, subyek mulai tertarik dan mencoba mendekati mereka. Pertamanya, subyek dijauhi karena dianggap sebagai saingan. Subyek tetap bersikukuh untuk mendekati mereka dan mengajak mereka berbincang-bincang. Setelah mendapatkan informasi tentang berdagang dan besarnya keuntungan yang diperoleh, subyek kemudian memutuskan untuk bekerja sebagai pedagang asongan. Menurut subyek, hal ini ditekuninya karena ia tidak harus bekerja sepanjang hari. Subyek hanya bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang. Setelah itu, subyek biasanya pulang untuk mandi, dan melanjutkan kerja sebagai penjaga tambak. Pekerjaan subyek sebagai penjaga tambak tidak setiap hari ditekuninya, tapi 2 hari sekali. Subyek mengatakan bahwa dirinya hari ini tidak ke tambak, makanya bisa ngobrol dengan saya. Jika subyek bekerja di tambak, ia biasanya menginap di rumah majikannya (jam jaga subyek adalah jam 4 sore sampai jam 12 malam). Jika subyek tidak bekerja di tambak, subyek membantu istrinya berjualan di warung. Ketika ditanya mengenai impiannya, subyek sempat terdiam sejenak dan berpikir, kemudian subyek mengatakan bahwa dirinya hanya ingin membeli rumah yang lebih baik untuk anak dan istrinya bisa tinggal. Mendengar hal tersebut, saya tertarik untuk menanyakan tempat tinggal subyek. Subyek mengatakan ia tinggal di kampungnya Delta Sari, dekat rawa, subyek menjelaskan jalan masuk ke rumahnya. Saya hanya mengiyakan karena saya tidak tahu daerah yang dimaksudkan subyek. Mendengar cerita subyek tentang rumahnya, dapat diambil kesimpulan bahwa tempat tinggal subyek jauh dari standar tempat tinggal yang sehat. Subyek kemudian melanjutkan ceritanya mengenai profesinya sebagai pedagang asongan. Subyek mengatakan bahwa setiap hari, ia harus membayar Rp 500,- kepada Satpam yang mengijinkannya berjualan. Dan semua pedagang asongan yang lain juga melakukan hal tersebut. Ketika saya tanya, mereka membayar untuk apa, subyek menunjukkan kertas yang bercetak: pajak penghasilan pedagang RS Dr Sutomo, Rp 500,-. Subyek melanjutkan mengatakan bahwa hal tersebut sangat tidak adil. “Coba saya, sudah banyak, saya satu hari kasih 500, kalau 1 bulan, saya sudah rugi berapa … tapi … nggak apa-apa sudah. Daripada saya nggak ada kerjaan. Ini sudah cukup enak kok. Subyek mengatakan bahwa para pedagang asongan yang lain keberatan dengan hal tersebut dan mengadakan protes. Menurut subyek, mulai bulan Februari, pedagang asongan hanya membayar Rp 500,- untuk tiap orang, per bulan. Pajak harian ditiadakan. Subyek kemudian melanjutkan mengatakan: “Kalau Non punya kerjaan, saya mau. Mungkin kerja apa … atau apa… ya… yang penting hasilnya lebih enak dari dagang ini, saya mau coba. Disini banyak saingan. “Saya tersenyum kemudian menjawab: “Iya, Pak. Tapi saya nggak mau janji pasti ada kerjaan buat Bapak lho ya.” Subyek mengangguk sambil tersenyum “Iya”. Saya kemudian mengucapkan terima kasih atas waktu yang diberikan subyek, karena subyek sudah meluangkan waktunya untuk bercerita dengan saya. Subyek juga berterima kasih karena merasa diperhatikan, selain itu ia juga berterima kasih atas bingkisan yang diterimanya. Subyek mengatakan: ”Hati-hati Non. Lain kali kalau ke sini, minum vitamin biar sehat, nggak ketularan sakit. Di sini banyak virus dan bakteri. He-he-he. “Saya kemudian menjawab: “Iya, Pak, sampai ketemu lagi ya. Makasih banyak.”
Subyek tidak ingin diganggu pada saat ia sedang bekerja sehingga ia minta ditemui setelah jam kerja. Subyek cukup terbuka sehingga saya tidak mengalami
Kesulitan bercerita dengannya. Selain bekerja sebagai pedagang asongan, subyek juga memiliki pekerjaan yang lain, yaitu sebagai penjaga tambak. Ini dilakukannya untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarganya. Penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pendidikan anaknya tidak mencukupi jika hanya mengandalkan penghasilan dari warung. Subyek berusaha mencari pekerjaan yang lain. Sulitnya mencari pekerjaan yang dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya ketrampilan, membuat subyek rela menjadi pedagang asongan. Hal ini ditekuninya karena hasil yang menurutnya agak memuaskan. Selain itu, dalam sehari, ia bisa melakukan 2 macam pekerjaan, sebagai pedagang dan sebagai penjaga tambak. Untuk mendapatkan pekerjaan ini, semula subyek harus mendekati pedagang yang lain untuk bertanya. Meskipun awalnya subyek kurang diterima (karena dianggap sebagai saingan) subyek tetap pantang mundur. Akhirnya, ia berhasil menekuni bidang dagang kecil-kecilan ini. subyek sudah bekerja sebagai pedagang asongan sejak tahun 1997. subyek tetap bekerja di tambak karena menurut subyek, majikannya baik, selain itu alasan yang dikemukakan subyek adalah untuk menambah kondisi keuangan. Impian subyek adalah untuk membahagiakan anak dan istrinya, dengan tinggal disebuah rumah yang keadaannya lebih baik dari sekarang. Subyek bercerita mengenai rumahnya. Dari penuturan subyek tentang rumahnya, dapat diambil kesimpulan bahwa rumah subyek yang sekarang dihuninya merupakan tempat tinggal yang jauh dari standar tempat tinggal yang sehat. Pekerjaan sebagai pedagang asongan, ternyata tidak luput dari pajak penghasilan. Mereka diwajibkan untuk membayar Rp 500,- setiap hari. Menurut subyek, hal tersebut tidak adil, dimana dirinya harus bekerja keras dan orang atau pihak lain menerima/menikmati hasil kerjanya. Meskipun demikian, subyek terkadang sadar bahwa dirinya harus melakukan hal tersebut. Jika subyek tidak membayar, maka ia tidak akan memperoleh pekerjaan yang dapat menghasilkan uang yang jumlahnya lumayan seperti sekarang itu. Perkataan subyek kepada saya bahwa dirinya menginginkan pekerjaan yang lain (jika ada) mengindikasikan bahwa subyek ingin pekerjaan yang bisa mendatangkan penghasilan yang lebih banyak dari penghasilannya saat ini, untuk dapat memenuhi kebutuhannya, untuk membahagiakan keluarganya. Menurut subyek, pekerjaan apa saja yang menghasilkan uang akan ditekuninya, asalkan itu merupakan pekerjaan yang halal dan tidak membawa resiko yang tinggi.
Waktu sangat berharga. Terkadang, kata-kata: TIME IS MONEY mungkin bisa memiliki dampak yang positif, dimana kita tidak menyia-nyiakan waktu yang kita miliki. Kita hendaknya dapat mengisi waktu yang kita miliki dengan sesuatu yang bermakna. Sikap terbuka bagi orang lain dapat membawa kesenangan tersendiri bagi diri kita. Dengan sikap terbuka, kita dapat saling berbagi pengalaman untuk dapat memperluas “lahan informasi” kita. Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya ketrampilan yang khusus, membuat kita harus bekerja keras untuk meningkatkan taraf hidup kita. Saya belajar dari subyek, bahwa hidup ini merupakan suatu tantangan dan didalamnya terdapat banyak hambatan; karena itu, kita harus bertekun untuk melakukan sesuatu agar mendapatkan apa yang kita inginkan, apa yang kita impikan. Untuk mendapatkan apa yang kita impikan, kita harus maju terus dan pantang mundur. Dengan keadaan yang tergolong susah seperti demikian, subyek masih terlihat bahagia. Salut, meskipun susah, meskipun subyek harus bekerja sepanjang hari, subyek tetap melakukannya dengan tulus dan ini dilakukannya tidak semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri, tapi untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya, yaitu istri dan anak-anaknya. Keadaan yang kurang baik menjadi titik acuan kita yang menjadikan kita sadar dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Meskipun terkadang merasa dirugikan, subyek tetap menekuni pekerjaannya dikarenakan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita sekarang ini, hendaklah kita pergunakan dengan sebaik-baiknya, agar kita dapat mengisi hidup kita dengan sesuatu yang bermakna.
Takut mengganggu subyek. Setelah subyek menunjukkan sikap ramah dengan tersenyum, saya baru dapat menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga suasana dapat “cair”.

3. Selasa, 3 Februari 2004
Aktivitas yang dilakukan:
Datang ke RS, pkl 08.40. Naik ke lantai 3 (kantin) untuk mencari para pedagang asongan. Ternyata disana sudah sepi. Saya kemudian bertanya pada ibu yang menjaga kantin, apakah para pedagang asongan sudah datang sejak pagi untuk mengambil barang jualan. Ibu Sundari, begitu nama yang akrab dipanggil, mengatakan bahwa belum banyak yang datang. Hanya yang sudah pengalaman (berjualan sudah puluhan tahun) yang sering datang pagi.
Saya kemudian turun ke lantai 1 dan berkeliling mencari pedagang asongan yang akan saya wawancarai dan ambil pelajaran dari pengalaman hidupnya. Ternyata tidak mudah untuk menemukan mereka. “Non, … nggak beli permen lagi ?” Tanya saya kepada Pak Minto, subyek saya untuk kegiatan live in pada minggu pertama. “Baik-baik, … Non, mau ke ruang bedah?” Tanya Pak Minto. “Oh, nggak sekarang. Nanti rada saingan baru saya ke raung bedah. Skarang pada kuliah semua, di ruang bedah nggak ada orang. Saya mau nyari minum aja deh. Pak Minto nggak jualan minum ya?” Jawab saya. “Oh, … saya nggak jual aqua. Teman saya yang jual.” Sahut Pak Minto. Saya kemudian menanyakan dimana teman Pak Minto, Pak Minto memberi tahu bahwa temannya baru saja datang dan sekarang sedang berada di kantin untuk mengambil barang. Pak Minto kemudian mengajak saya naik untuk membeli minuman di kantin. Saya kemudian menyampaikan alasan bahwa say capek dan sebelum bertemu dengan Pak Minto, saya sudah dari lantai 3, setelah turun dan jalan-jalan sebentar, saya merasa haus (padahal, maksud saya yang sebenarnya adalah ingin bertemu dengan teman Pak Minto). “Oh, … kalau itu, mm … kalau capek, … tunggu disini saja. Teman saya, saya suruh kesini tadi.” Kata Pak Minto. Saya dan Pak Minto kemudian menunggu teman Pak Minto sambil bercerita mengenai pekerjaan sebagai penjaga tambak yang ditekuni Pak Minto. Tidak lama, sekitar 3 menit, Pak Minto memanggil temannya. “War … Wardi. Sini … Aku nde kini.” Teman Pak Minto menghampiri kami. Pak Minto mengatakan pada temannya kalau saya haus dan ingin membeli aqua. Saya kemudian mengeluarkan uang Rp 1000,- untuk membeli 2 gelas aqua. Setelah membayar, saya bertanya kepada Wardi, teman Pak Minto, sudah berapa lama berjualan. Pak Minto menjawab: “Dia ini sudah 10 tahun berjualan disini. Dari umur 15 tahun, sampai sekarang. Hebat kan?” Saya kemudian menanyakan kapan saya bisa bertemu lagi dengan Wardi untuk berbincang-bincang. Wardi kemudian mengatakan: “Kamis siang saja yang Non. Saya ini mau kerja. Saya … Kamis jam setengah 3 kurang, saya bisa.” Pak Minto tersenyum dan mengatakan: “Non sendiri sama Wardi ya, mestine saya pengen ikut, biar dapat bingkisan lagi. Ha-ha-ha.” Saya kemudian mengatakan kepada Pak Minto: “Lho, nggak pa-pa Pak. Ikut aja, kita crita-crita bertiga. OK?” Pak Minto kemudian mengatakan bahwa hari Kamis ia tidak bisa ikut, karena harus pergi ke tambak. Saya kemudian mengatakan pada Wardi untuk bertemu dengannya pada hari Kamis, jam setengah 3. setelah Wardi mengiyakan, saya kemudian berpisah dengan mereka (Mereka melanjutkan pekerjaan mereka dan saya bergegas ke ruang bedah karena sudah ditunggu oleh teman saya).

Apa yang Didapatkan:
· Ibu Sundari sangat ramah. Ia menjelaskan dengan ramah kepada saya, padahal ia baru pertama kali bertemu dengan saya.
· Pedagang asongan tidak mengenal lelah dalam berjualan mencari uang untuk kebutuhan mereka. Mereka rela datang pagi-pagi untuk “berebut” barang dagangan, karena semakin pagi, semakin banyak item yang bisa dijual.
· Sikap Pak Minto yang mudah tersenyum, menunjukkan bahwa dirinya ramah terhadap orang lain. Ia menyapa orang yang pernah dikenalnya. Meskipun ia terkesan terburu-buruh ingin bekerja (berjualan), ia tetap menyempatkan diri untuk berbincang-bincang sejenak dengan pelanggannya.
· Pak Minto tidak segan-segan memperkenalkan saya dengan temannya untuk memberikan temannya keuntungan (saat saya membeli aqua). Mereka saling berbagi dan saling mendukung dalam pekerjaan mereka. Terkadang kerja sama memang diperlukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, tidak perlu menganggap orang lain sebagai saingan.
· Meskipun terkadang merasa jenuh dengan pekerjaan sebagai pedagang asongan, mereka tetap memaksakan diri untuk menekuninya. Ini dilakukan karena keadaan ekonomi yang kurang dan kebutuhan yang semakin meningkat, serta tidak adanya lapangan pekerjaan lain yang “mengijinkan” mereka untuk terlibat didalamnya.
· Wardi (Subyek) adalah pedagang yang cukup ramah. Usianya yang 25 tahun dan sudah menekuni profesi sebagai pedagang asongan selama 10 tahun (sejak ia berusia 15 tahun), menjadikannya berpengalaman dalam bidang dagang kecil-kecilan ini. Ini tidak lepas dari usahanya untuk tetap eksis di tengah-tengah gelombang persaingan yang semakin ketat.
· Walaupun sudah 10 tahun berjualan sebagai pedagang asongan, menurut Pak Minto, Wardi tetap tidak sombong, jika dibandingkan dengan pedagang lain yang sudah berpengalaman dan mendapatkan hasil (uang) yang lebih banyak setiap harinya.
· Di tengah-tengah kesibukan kerja dan perasaan lelah, mereka tetap dapat mengemukakan gurauan yang dapat membuat orang lain tersenyum.
· Wardi dengan sikap yang ramah, diselah-selah kesibukannya, ia tetap rela berbagi waktu dengan seseorang yang baru saja dikenalnya.
Refleksi:
· Sikap ramah dan terbuka terhadap orang lain akan membawa dampak positif yaitu perasaan senang dan dilayani serta merasa dibutuhkan dan diperhatikan.
· Waktu sangat berharga, menjadikan kita tekun dan bergiat dalam bekerja. Kita tidak menyia-nyiakan waktu yang ada, karena waktu itu singkat dan dapat mendatangkan keuntungan yang besar jika kita mempergunakannya dengan baik.
· Kebutuhan yang semakin hari semakin meningkat, melatih kita untuk menjadi lebih tekun dan giat. Kesadaran akan hal ini membuat kita lebih termotifasi dalam mengerjakan setiap tugas dan tanggung jawab kita. Kita melakukan aktivitas dengan didasarkan oleh suatu tujuan dan untuk mencapai apa yang kita inginkan dimasa yang akan datang.
· Orang lain akan merasa senang jika kita bersikap ramah terhadapnya dengan diiringi senyum yang tulus. Senyuman yang kita berikan pada orang lain mungkin dapat menghilangkan rasa lelah dan bosan.
· Kita hendaknya tidak egois dan menganggap orang lain yang seprofesi dengan kita sebagai saingan. Untuk itu, kita harus saling mendukung dan bekerja sama untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
· Perasaan bosan yang tidak mengenakan dapat dihilangkan dengan istirahat. Selain itu, dapat hilang dengan sendirinya jika kita melakukan aktivitas yang membosankan itu terus-menerus karena semakin lama, hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan yang dapat mendatangkan keuntungan untuk kita (pedagang yang bosan dan tetap memaksakan diri untuk bekerja).
· Terbatasnya keterampilan dan pendidikan yang dimiliki, membuat kita sadar akan kelebihan kita yang lain yang dapat kita tonjolkan untuk merubah sisi hidup kita yang kurang.
· Pengalaman yang kita miliki tidak dapat menjadi tolok ukur keberhasilan kita, tidak pula menjadi alasan bagi kita untuk bersikap sombong dan merasa lebih dari orang lain. Setiap orang tentu saja memiliki pengalaman yang berbeda-beda dan pengalaman tersebut dimaknai sesuai dengan kekhasan dan kepribadian setiap orang. Karenanya, kita harus menghormati dan menghargai orang lain, tidak perlu menganggap diri kita lebih hebat dari orang lain dan menjadi sombong dan tinggi hati. Karena siapa yang meninggikan dirinya, maka ia yang akan direndahkan.

Kekurangan saya:
· Terlalu terburu-buru mencari pedagang asongan yang usianya lebih muda, sehingga tidak memperhatikan sekeliling. Saya tidak tahu kalau Wardi adalah seorang pedagang asongan, padahal Wardi berjalan di depan saya pada waktu ia hendak mengambil barang dagangan di lantai 3.
Selain itu, karena kondisi badan saya yang kurang sehat, membuat saya lelah dan sedikit “lamban” dalam upaya mencari pedagang asongan. Langkah kaki saya tidak bisa cepat seperti biasanya.


4. Kamis, 5 Januari 2004
Aktivitas yang dilakukan:
Saya tidak dapat pergi ke RS DR Sutomo dikarenakan kondisi kesehatan saya yang tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Saya terkena diare dan demam serta pilek sejak Rabu, 4 Januari 2004 (malam). Dokter mengatakan bahwa saya tidak diijinkan keluar rumah sampai sakit saya benar-benar sembuh. Saya meminta bantuan teman saya untuk menyampaikan pesan kepada Subyek bahwa saya sakit dan tidak bisa menemuinya.
Apa yang didapatkan:


Refleksi:


Kekurangan saya:
Tidak menjaga kesehatan dengan baik dan terlalu by melakukan aktivitas sehingga sakit.
Share ke : _

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2011 Terus Belajar Berbagi Kebaikan | www.jayasteel.com | Suwur | Pagar Omasae | Facebook | Rumah Suwur