-----

PENTINGNYA PENDIDIKAN DAN LATIHAN DI SEKTOR PARIWISATA

ARTI dan TUJUAN BIMBINGAN

Bimbingan merupakan suatu tuntunan atau pertolongan. Bimbingan merupakan suatu tuntunan, ini mengandung arti bahwa di dalam memberikan bantuan itu bila keadaan menuntut adalah menjadi kewajiban bagi para pembimbing untuk memberikan bimbingan secara aktif kepada yang dibimbingnya. Di samping itu, pengertian bimbingan juga berarti memberikan bantuan atau pertolongan di dalam pengertian bahwa di dalam menentukan arah dapatlah diserahkan kepada mereka yang dibimbingnya. Keadaan seperti ini dikenal di dalam pendidikan yakni tut wuri handayani. Jadi di dalam memberikan bimbingan arahnya diserahkan kepada yang dibimbingnya, hanya dalam keadaan yang memaksa maka pembimbingan memberikan peranan secara aktif. Pembimbing tidak pada tempatnya membiarkan individu yang dibimbingnya terlantar keadaannya bila ia nyata-nyata tidak dapat menghadapi atau mengatasi persoalannya.

Bimbingan itu dapat diberikan kepada individu atau kelompok. Bimbingan dapat diberikan kepada siapa saja tanpa memandang usia, baik anak-anak maupun orang dewasa dapat menjadi obyek bimbingan. Tujuan diberikannya bimbingan adalah untuk menghindari kesulitan baik di sekolah, di kantor atau untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi individu dalam kehidupannya, berarti bahwa bimbingan diberikan untuk dapat mencegah agar kesulitan tidak atau jarang timbul.

Adalah merupakan anggapan yang salah bahwa bidang gerak dari bimbingan itu terbatas di dalam lingkungan sekolah. Bidang gerak bimbingan dapat juga dalam masyarakat yang lebih luas, misalnya di lapangan industri, hotel-hotel, biro-biro perjalanan, kantor-kantor pemerintah, bidang militer dan sebagainya.

MEMBIMBING ANAK DIDIK

Untuk berhasilnya suatu proses bimbingan di lembaga pendidikan tentu banyak dipengaruhi oleh faktor yang secara sederhana dapat dikemukakan, yaitu antara lain faktor aparatur. Tidak jarang bahwa aparatur pendidikan pada umumnya merupakan faktor kesukaran yang penting pula yang dapat menghambat proses bimbingan antara lain dapat berbentuk L

- Sikap pengajar atau direktur yang umpamanya saja selalu otokratis dan kurang memberi contoh yang baik.

- Kurang pengertian/pengetahuan tentang psikologi umum dan psikologi remaja pada khususnya.

- Belum menguasai tehnik penilaian yang baik.

- Belum menguasai masalah manajemen atau mungkin saja seseorang telah menguasai masalah ini akan tetapi dengan maksud-maksud tertentu yang bersangkutan tidak pernah mempraktekkannya.

Guna mengatasi kesukaran dia tas hendaknya sering diadakan penataran (up-grading), lokakarya (workshop), in-service training, juga menghidupkan musyawarah para pengajar dan menggunakan rapat-rapat secara efektif dan produktif juga tak lupa memperbaiki nasib para pengajar.

Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi adalah faktor masyarakat, khususnya orang tua/wali dari anak didik, untuk mengatasi hal ini dapat ditempuh dengan memberikan penerangan-penerangan melalui pertemuan-pertemuan orang tua murid dengan para pengajar.

Akhirnya tidak boleh dilupakan bahwa berhasil tidaknya suatu bimbingan sebagian besar tergantung kepada anak yang dibimbing itu sendiri pada kesediaan, kesanggupan, kemampuan maksimum dan proses-proses yang terjadi dalam dirinya sendiri.

BIMBINGAN DI PERKANTORAN

Bimbingan di perkantoran menekankan pengarahan seseorang kepada penglihatan ke dalam diri sendiri dan penggambaran diri sendiri dengan pemberian pertanyaan-pertanyaan dan usul-usul yang dipilih secara teliti. Bimbingan di kantor juga mengusahakan agar seseorang mengetahui apa yang dapat dikerjakannya untuk mengembangkan cara menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dengan demikian bimbingan ini dapat juga dianggap sebagai tehnik sugestif dan suportif untuk dapat melahirkan motivasi diri pada pegawai yang dibimbing.

Untuk melakukan bimbingan dengan baik, maka perlu dipahami secara jelas mengenai apa yang diinginkan untuk dilaksanakan oleh pegawai tersebut. Dengan demikian dapat diberikan bimbingan ke arah mana pegawai tersebut dapat dinilai kemajuannya, selanjutnya bersikaplah lebih peka terhadap pembawaan, tingkah laku dan semacamnya yang terdapat pada pegawai.

MENCARI BIBIT UNGGUL

Ada banyak bibit yang tumbuh dalam diri manusia baik pada mereka yang sudah menjadi pegawai ataupun karyawan dan tentunya pada diri kita semua, namun dalam kenyataan dari sekian banyak mereka yang belajar atau dari sekian banyak yang sudah menjadi pegawai atau karyawan tidak semuanya dapat berprestasi, tidak semua bibit dapat kesempatan untuk tumbuh. Tumbuh atau tidaknya bibit itu tergantung pada keadaan, apakah bibit itu ditemukan, berkesempatan atau mendapat peluang serta mendapat sokongan sepenuhnya pada lingkungan mana bibit tadi akan tumbuh.

Adalah tugas kita semua untuk menemukan bibit-bibit unggul tadi, tentu saja kita harus memberi kesempatan serta mempunyai kerelaan untuk mau saling menutupi segala kekurangan. Kita harus punya perhatian yang cukup besar, dengan menemukan bibit ini berarti kita mengantarkan mereka ke arah pencapaian prestasi dan mendapatkan kesempatan untuk menumbuhkannya. Kita harus belajar untuk ikut berbahagia atas keberhasilan orang-orang di sekitar kita. Tugas kita memang demikian, karena itu seyogyanyalah kita semua mengangguk tanda setuju bila orang mengatakan bahwa kita ini adalah harta yang paling bernilai dalam suatu wadah pendidikan.

DAMPAK KUNJUNGAN WISATAWAN

Kelihatan oleh kita perkembangan pariwisata di Indonesia cukup pesat dan menjadi tumpuan harapan sebagai penghasil devisa di waktu-waktu yang akan datang. Hal ini cukup beralasan, karena diperkirakan tahun 2012 nanti peranan minyak bumi sebagai penghasil devisa utama menjadi berkurang. Hal ini tidak hanya karena cadangan minyak semakin menipis, tetapi juga disebabkan karena turunnya harga minyak dipasaran dunia.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka dapat diperkirakan bahwa pariwisata nantinya akan menjadi komoditi prospektif sebagai penghasil devisa di Indonesia menggantikan kedudukan minyak dan migas yang selama ini menyumbangkan bagian terbesar devisa untuk kelangsungan pembangunan di segala bidang. Ada pula dampak positif dan negatif :

Dampak Positif

Dengan cara yang lebih spesifik Inskeep (1986:13) menjelaskan beberapa jenis dampak kegiatan pariwisata dipandang dari sudut sosial budaya: (1) Pelestarian situs-situs bersejarah dan arkeologi dan pendirian fasilitas-fasilitas pendukung sebagai suatu atraksi pariwisata akan dihargai oleh masyarakat lokal sebagai suatu aspek penting dari pelesatarian budaya dan sejarah nenek moyang mereka. (2) Pembangunan dan renovasi museum, taman botani, kebun binatang, akuarium dan tempat-tempat rekreasi lainnya merupakan atraksi yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat lokal. (3) Pelestarian dan kadang-kadang berupa penyegaran kembali budaya masyarakat lokal yang dapat berupa tarian traditional, musik, drama, seni bela diri, kerajinan tangan, pakaian traditional, upacara adat dan gaya arsitektur lokal yang juga merupakan atraksi budaya penting bagi para wisatawan. Aspek-aspek budaya di atas boleh jadi akan pupus bila tidak dilestarikan melalui wisatawan. (5) Pendidikan bagi masyarakat lokal melalui kontak mereka dengan wisatawan tentang perbedaan budaya.

Bagaimanapun, penting untuk ditambahkan bahwa segi-segi positif kegiatan pariwisata yang telah diuraikan di atas hanya akan tercapai bila pengembangan pariwisata direncanakan dan diawasi dengan baik.

Dampak Negatif

Dalam kaitannya dengan dampak negatif kegiatan pariwisata dipandang dari sudut sosial budaya, Young (1973) mengemukakan bahwa pariwisata memberi peluang bagi munculnya kegiatan-kegiatan yang tidak diinginkan, seperti perjudian, perdagangan narkotik, dan prostitusi yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat lokal. Gejala lainnya yang dikemukakan oleh Turner dan Ash (1975) adalah berkembangnya apa yang disebutnya dengan istilah “beachboys” yaitu kelompok remaja yang tidak ingin mencari kerja karena mereka merasa dibutuhkan oleh wisatawan wanita. Menurut Jafari (Dikutip dari Ritchie dan Goeldner 1987:375-376) dampak negatif dari segi sosial budaya lainnya adalah “premature departure to modernization”, yaitu suatu keadaan dimana nilai-nilai dan ideologi asing yang diterima mempengaruhi kehidupan dan sikap serta perilaku masyarakat lokal dan secara perlahan-lahan dikhawatirkan akan menjauhi budaya dan tradisi mereka. Lundberg (1974) mengungkapkan bahwa pariwisata dapat pula menimbulkan perubahan dalam pola dan kebiasaan sosial, misalnya studi di Hawaii mengkaitkan hal ini dengan tingginya tingkat perceraian. Dampak negatif sosial budaya lainnya sebagai akibat kegiatan pariwisata adalah “demonstration effect”. Crandall (1987:376) menyatakan bahwa “demonstration effect” pada dasarnya adalah kebiasaan meniru yang dilakukan masyarakat lokal khususnya para remaja, yaitu meniru perilaku, kebiasaan, sikap dan pola konsumsi wisatawan asing. Nettekoven (1976:376) setuju bahwa remaja pada umumnya sangat peka terhadap kebiasaan meniru di atas.

Murphy (1985:119) mendukung kedua pendapat di atas bahwa diantara anggota masyarakat yang paling mudah meniru adalah kelompok anak muda yang kadang-kandang merasa tidak puas dengan keadaan setempat dan mencoba meniru cara wisatawan asing dalam mencari sesuatu yang lebih baik.

Komersialisasi aset budaya adalah bentuk lain dari dampak negatif dari sudut sosial budaya kegiatan pariwisata. Crandall (1987) seni, upacara-upacara adat dan keagamaan, musik dan tarian traditional dapat dikomersialisasikan dan berakibat hilang keasliannya, sebagai contoh adalah Upacara Indian Rain dances disajikan semata-mata untuk kepentingan para wisatawan.

BEBERAPA PERTIMBANGAN SOSIAL BUDAYA DALAM RENCANA PENGEMBANGAN PARIWISATA

Dalam kaitannya dengan pertimbangan-pertimbangan sosial budaya dalam perencanaan pengembangan pariwisata, Inskeep (1986:3-5) mengemukakan beberapa saran, sebagai berikut:

(1) Pengembangan pariwisata hendaknya menggunakan teknik konservasi budaya, artinya melalui pengembangan pariwisata secara langsung dapat membantu pelestarian atau bahkan dapat menghidupkan kembali misalnya: musik dan tarian traditional, drama, kerajinan tangan, pakaian daerah, upacara adat dan gaya arsitektur daerah tertentu yang hampir punah; selanjutnya buatlah panduan-panduan untuk mengukur keasliannya terutama bila akan dipertontonkan kepada para wisatawan.

(2) Libatkan masyarakat melalui pemimpinnya dalam setiap tahap proses pengambilan keputusan perencanaan pengembangan pariwisata di daerah tertentu agar mereka dapat memberikan sumbang-saran tentang jenis pariwisata apa yang cocok untuk dikembangkan di daerahnya.

(3) Buatlah suatu ketentuan umum bahwa atraksi pariwisata harus didasari oleh aspek budaya dan lingkungan daerah setempat dan bukan merupakan “tiruan” dari atraksi asing.

(4) Laksanakanlah program pendidikan masyarakat khususnya bagi masyarakat di daerah yang akan dikembangkan tentang konsep, manfaat, masalah-masalah pariwisata, dan bagaimana menciptakan hubungan yang baik dengan wisatawan asing yang berbeda latar belakang budayanya sehingga kontak antara masyarakat tuan rumah dan pendatang dapat membawa manfaat timbal balik. Menurut Bachri dan Legoh (1986:21) jenis pendidikan masyarakat dapat ditempuh dengan berbagai cara dan berbagai saluran, misalnya melalui media massa, komunikasi langsung atau melalui pemuka adat, pemuka agama, pemuka masyarakat dan organisasi-organisasi sosial lainnya.

(5) Informasikan kepada wisatawan tentang latar belakang sejarah dan budaya masyarakat yang dikunjunginya, kebiasaan-kebiasaannya, cara berpakaian, kode etik perilakunya, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan setempat.

(6) Berikanlah pelatihan kepada para pekerja setempat agar mereka dapat bekerja secara efektif di bidang usaha pariwisata dengan demikian antara wisatawan dan para pekerja akan terjalin hubungan yang menyenangkan tanpa harus menimbulkan salah pengertian dan konflik; pelatihan harus berisi hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang budaya para wisatawan.


KESIMPULAN

Dampak negatif kegiatan pariwisata dari segi sosial budaya dapat diminimisasi bila pariwisata dikembangkan secara bertahap dan dipantau secara terus menerus, sehingga masyarakat dapat beradaptasi secara bertahap terhadap perubahan-perubahan dengan tanpa meninggalkan ciri-ciri budaya setempat. Semakin kuat budaya setempat maka akan semakin tangguh budaya tersebut mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif budaya dari luar.

Pertimbangan-pertimbangan sosial budaya di dalam perencanaan pengembangan pariwisata harus dipakai sebagai “alat” untuk meminimisasi dampak negatif baik oleh para penanam modal, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya. Selanjutnya, pertimbangan-pertimbangan ini dapat dijadikan sebagai panduan bagi para pembuat kebijaksanaan dalam memilih berbagai alternatif secara objektif dalam rangka perencanaan dan pengembangan pariwisata yang berwawasan lingkungan baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Akhirnya sebagai catatan penutup perlu digarisbawahi bahwa makalah ini belum sepenuhnya membahas aspek-aspek sosial budaya yang terkait dengan bidang pariwisata dan disadari pula bahwa analisis diberbagai aspek yang telah diuraikan terdahulu masih sangat dangkal. Walaupun demikian, diharapkan agar makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan baku dasar bagi diskusi-diskusi lanjutan.

KOMERSIALISASI KERAMAHTAMAHAN

Umumnya kecenderungan suatu negara mengembangkan pariwisata sebagai suatu industri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi pengembangan ekonomi di negaranya. Untuk itu ada kecenderungan mengeksploitir segala potensi yang ada untuk menarik wisatawan. Pura dijadikan hotel atau penginapan, upacara pemakaman atau kremasi jenazah ditunda menunggu dolar wisatawan masuk, dan wisatawan dibiarkan kawin pura-pura dengan upacara agama penduduk setempat.

Begitulah keramahtamahan itu dikomersialkan. Semua keinginan wisatawan dipenuhi demi dolar untuk menutup investasi yang telah dilakukan. Untuk itu mereka tidak segan-segan menghalalkan segala cara. Apa pun tanpa memikirkan pengaruhnya terhadap sosial budaya, semua dijual pada wisatawan. Hal ini akan terasa kalau wisatawan berkunjung ke daerah-daerah terpencil, kesempatan bergaul dengan penduduk lebih banyak dan frekuensi untuk saling mengenal cukup tinggi.

Bilamana penduduk setempat menganggap bahwa wisatawan adalah sumber rezeki, hubungan antara mereka menjadi komersial sifatnya. Akibatnya hal-hal yang bersifat curiousity atau social interest dibuat sedemikian rupa sehingga sang wisatawan yang hendak menyaksikan sesuatu harus membayar dengan imbalan yang pantas. Kalau wisatawan tidak mau, mereka tidak memberikan jalan, gerak langkah wisatawan dibatasi dan bila perlu dihalangi.

Ini merupakan masalah yang timbul sebagai ekses komersialisasi keramahtamahan tersebut. Ini perlu mendapat perhatian, tidak hanya oleh dinas-dinas pariwisata yang ada tetapi juga oleh pakar-pakar sosiologi, budayawan, dan pakar ekonomi kita.

Seperti kita ketahui frekuensi dan fluktuasi kedatangan wisatawan ke Indonesia relatif cukup tinggi. Untuk kasus ini mungkin kita perlu mengembangkan mutual understanding diantara kedua belah pihak, melalui penyuluhan, pengarahan, pendidikan, penataran atau seminar, dengan menjelaskan secara luas dan lengkap tentang rencana, keuntungan atau kerugian pengembangan pariwisata bagi suatu daerah.

Kelihatannya tindakan semacam ini merupakan keharusan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, agar penduduknya, masyarakatnya mengerti tingkah laku wisatawan, motivasi kunjungan, apa yang dilarang, apa yang dianjurkan. Sebaliknya kepada calon wisatawan perlu diinformasikan apa yang telah dirumuskan, sehingga kedua belah pihak tidak terjadi adanya kesenjangan yang berakibat fatal. Selanjutnya semuanya itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pelaksana di lapangan, bagaimana dapat memberi pelayanan yang baik pada wisatawan.

KEASLIAN VERSUS TIRUAN

Bagi kita di Indonesia, karena kepentingan kepariwisataannya mungkin dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:

1. Segala potensi yang merupakan daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah harus dipertahankan keasliannya, sehingga kelestariannya betul-betul terjamin.

2. Dalam penyediaan fasilitas akomodasi bagi wisatawan tidak mutlak dibangun hotel yang bertingkat mewah (kalau memang diperlukan cukup di kota besar saja), yang penting ialah: kamar hotel tersebut harus memenuhi persyaratan standar internasional, namun bentuk bangunan, pertamanan, dekorasi dan interior tidak meninggalkan keaslian seni budaya yang terdapat di daerah tersebut. Atas dasar pertimbangan ini, pembangunan hotel untuk kepentingan industri pariwisata di Indonesia haruslah disesuaikan dengan arsitektur daerah tersebut.

3. Dalam hal makanan dan minuman yang diperuntukkan bagi wisatawan di hotel di mana menginap merupakan keharusan untuk menyediakan makanan yang cocok dan sesuai dengan selera bangsa yang datang. Hal ini dianggap perlu, karena untuk menjaga kondisi badan selama perjalanan yang relatif jauh itu, dibutuhkan makanan yang sesuai dengan selera masing-masing. Makanan dan minuman yang khas Indonesia, sifatnya hanya melengkapi di samping dengan tujuan untuk memperkenalkannya dan tidak merupakan makanan utama.


DAFTAR PUSTAKA

Bachri, B. Thamrin. 1995. Pariwisata Gagasan dan Pandangan. Jakarta:

Yoeti, A. Oka. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Share ke : _

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2011 Terus Belajar Berbagi Kebaikan | www.jayasteel.com | Suwur | Pagar Omasae | Facebook | Rumah Suwur