Karya D. Jayakusuma
Adegan XXV
(Pentas belakang terang, muncul Petruk, Gareng, dan Bagong)
Petruk : Menurut Semar yang maha tahu segera datang seorang tamu.
Gareng : Pedagang atau bangsawan?
Bagong : Katanya anak pendeta ex raja.
Petruk : Yang bekas raja itu pendeta atau anaknya?
Bagong : Anak jadi raja, pendetanya jadi ex.
Gareng : Kalau mendengar yang gamblang, kalau bicara yang terang.
Bagong : Aku ini bicara tegas, sebab itu pasti jelas, tegasnya aku sendiri tidak jelas.
Petruk : Siapa yang ex raja, atau ex pendeta, atau ex anak tidak penting, yang penting kita harus menerimanya, kita dijadikan protokol. Kita kol bersaudara.
Semar jadi dongkol.
Gareng : Memang aku antikol. Aku pro kangkung, ditambah hidung, ditambah
petis yang agak manis ............
Petruk : Jangan main-main. Amanat orangtua. Supaya tamu merasa dihormati, yang menerima harus setaraf dengan dia.
Kalau dia bangsawan, kita juga bangsawan.
Bagong : Cocok. Aku komedi bangsawan.
Aku jin Afried: La, la....
Gareng : Ya, Pangeran Ommelet. Pangeran sudah adu jangkrik?
Bagong : Aku kok tidak ditanya?
Petruk : Bagaimana Tuanku Baron Bagong?
Bagong : Baik-baik. Terima kasih, Pangeran Pailit. Namaku Baron Bagong de Bawor.
Adegan XXVI
(Bergawa datang)
Gareng : Ah, tamu kita datang. Selamat datang! Saudara ini raja atau tukang kayu?
Bergawa : Saya Rama Bergawa alias Rama Parasu.
Petruk : Tambah Seri Paduka.
Bergawa : Maaf Tambah Seri Paduka.
(Pada Petruk). Ini raja?
Gareng : Berapa kali sudah menghina. Tapi tidak apa. Ini cuma sandiwara.
Saya raja negeri kurang tahu, darahku biru, buat transfusi tidak laku.
Bergawa : Maaf, Seri Paduka mengapa pincang?
Gareng : Pincang? Masalah gampang.
Sebentar mengarang. Ini garagara kerang. Waktu ibu saya mengandung.
Bagong : Mengandung!
Gareng : Supaya yang diam, Baron.
Waktu ibuku mengandung waking tabu... waking wang?
Bergawa : Apa itu waking wang?
Gareng : Sorry. Tidak kenal bahasa Kawi?
Maksudnya badannya saya. Dia iseng makang kerang di restoran ngangkang ....
Bergawa : Pantas, Seri Paduka seperti kerang.
Gareng : Ya, kerang. Perlu kerang? Berapa kilo?
Bergawa : Terima kasih, lain kali. Ini yang bundar?
Bagong : Perkenalkan! Saya Baron Bagong de Bawor de Belangsetan, keturunan kesepuluh dari maharaja diraja, keturunan raja disinga, tanpa di. Mengapa bundar? Terlalu banyak obat dan gas. Sebentar lagi aku akan melayang seperti balon; ngalor, ngidul, ngetan, kembali kulon. Mau kelon?
Gareng : Sudah tolol adu okol. Kita harus raja, pangeran, dan baron.
Petruk : Betul. Sekarang bagi-bagi titel.
Kang Gareng yang tua jadi raja.
Aku jadi pangeran.
Bagong : Setuju. Aku jadi Baron de Bagong.
Lha, Pak Semar jadi apa?
Petruk : Dia mestinya, ya, jadi kaisar.
Bagong : Cocok. Semar mbokne Parto.
Gareng : Mbokne Parto bagaimana?
Bagong : Itu yang selalu garuk-garuk perutnya.
Orang kecil.
Petruk : O, Bonaparte. Nah, itu orangnya datang. Awas! (Pada Gareng). Seri Paduka apa sudah mandi pagi ini?
Gareng : Sudah Pangeran. (Berbisik). Siapa namamu? Sudah tiga kali.
Petruk : (Berbisik). Panggil aku Ommelet.
Bergawa : Sangat mengagumkan. Dan tuan panjang ini?
Petruk : Pangeran. Pangeran pengkalan bambu bambungan– Satria 100 persen. Boleh ditawar.
Bagong : 75 persen.
Gareng : 25 persen.
Petruk : 50 persen. Jadi? Jadi. 50 persen.
Nah, Grap Barbara ....
Bergawa : Rama Bergawa alias Rama Paras.
Petruk : Baik Rama Bergawa, hari ini kau, kami angkat jadi Grap Parabagawa di Barbasu de Bakso. Grap tentu ingin audiensi menghadap seri paduka yang mulya lagi bijak bestari asmara terpendam di keranjang sampah.
Bergawa : Kalian ini bangsawan atau badutbadut yang tidak lucu?
Adegan XXVII
(Semar datang sambil tertawa terkekeh-kekeh).
Semar : Maafkan saya, anak-anak saya.
Memang agak kurang ajar, walau sudah berkali-kali dihajar tanpa bayar. Saya ini Semar, budak biasa, budaknya Prabu Rama saja, tidak pakai embel-embel.
Bergawa : Jadi namanya Rama– saja tidak pakai embel-embel.
Semar : Maksud saya Rama saja, thok, doang. Dia bukan Rama Barbawa-bawa.
Petruk : Juga bukan Bar ngangsu di kali baru.
Gareng : Bukan pula Bar ngawur di kali tawur.
Bagong : Juga bukan Bar Bir di tempat parkir.
Semar : Sudah siap menghadap majikan saya?
Bergawa : Lekas bawa dia kemari.
Gareng : Jangan omong asal omong.
Petruk : Salah omong bisa monyong.
Bagong : Sekali monyong minta lontong.
Bergawa : Sekali lontong.... gila. Biar aku ke sana.
Semar : Tunggu saja di sini dengan sabar.
Adegan XXVIII
Semar pergi.
Gareng : Dan jangan berani kurang ajar.
Petruk : Lebih baik berdamai, kompromi.
Bagong : Tapi bayar uang administrasi.
Uang semir juga jadi. Mau plesir? Aku ladeni.
Bergawa : Bawa dia lekas kemari. (Bargawa mengangkat kapaknya. Gareng, Petruk dan Bagong memasang kuda-kuda pendak, bokser, dan gulat).
Adegan XXIX
(Rama Wijaya diantar Semar. Rama Wijaya tidak membawa senjata).
Rama Wijaya : Kamu sekalian, pergi.
Gareng : Yang hati-hati.
Petruk : Harus ada saksi.
Rama Wijaya : Sudahlah, pergi sana!
Bagong : Sisa makanan masih ada?
Semar : Masih banyak, ayo!
(Semar dan anak-anaknya pergi. Tinggal Rama Wijaya dan Rama Bergawa berhadapan).
Adegan XXX
(Rama Wijaya dan Rama Bergawa berhadapan).
Rama Wijaya : Sama awalnya, lami akhirnya sama namanya, lami gelarnya semoga dewa melindungimu sehat-sehat di hadapanku?
Rama Bergawa : Terima kasih atas sambutanmu sudah lama aku ingin bertemu dengan orang menyamai namaku.
Rama Wijaya : Aku senang berjumpa muka dengan Bergawa Parasu Rama begitu tersohor di dunia.
Rama Bergawa : Kita berjumpa mengadu senjata mengapa datang bertangan hampa?
Rama Wijaya : Kau datang hendak membunuh aku datang menerima tamu seperti galibnya tuan rumah terhadap tetamu harus ramah.
Kau datang mencabut nyawa aku serahkan dengan rela.
(Rama Wijaya berlutut di depan Rama Bergawa, mengalungkan lehernya).
Rama Bergawa : Ini bukan keramahan tapi jelas penghinaan.
Rama Wijaya : Aku bermaksud tidak melawan karenanya aku hampa tangan.
Aku sadar dosaku sangat banyak sudah layak jadi sasaran kapak atau Bargawastra yang sakti akan mengantar aku kembali ke asalku yang sejati.
(Rama Wijaya menung, kemudian ia kembali tegak, sedang Rama Bergawa terdiam).
Rama Wijaya : Dunia tabu akan hasratmu menggantikan Yamadipati.
Penuhi hasratmu jangan ragu masih banyak tugasmu menanti.
(Bergawa ayunkan kapak. Rama mengelak. Kapak mengenai tanah, tangkainya patah jadi dua, Bergawa heran). Jumlah satria tak terbilang jangan biarkan waktu terbuang.
Kau mau bersihkan dunia lakukanlah dengan segera.
(Bergawa memasang tali pada busur. Mendadak tali putus. Dengan kesal busur dilempar ke tanah).
Mengapa tanggalkan senjata?
Badanmu kuat sentausa tanganmu berotot baja cukup dengan mencekik saja.
Chorus:
Rama Bergawa diam membisu menyadari tindakannya keliru.
Ia ingin bersihkan dunia dari satria murang tata.
Solo
Tiap apa dilakukannya?
Tiap satria dibunuhnya bahkan juga perempuan dan bayi dalam kandungan.
Rama Wijaya : Tugasmu belum selesai belum terdengar lonceng usai masih banyak satria berkelana
tak terbilang keturunannya.
Angkat senjata bunuh semua bunuh aku dan dirimu karena kau laki-laki dan satria lagi.
Baru sesudah tiada lagi seorang insan di dunia ini boleh kau tanggalkan senjata boleh kau menepuk dada telah terpenuhi sumpahmu keji.
(Rama Bergawa bertekuk lutut di hadapan Rama Wijaya. Cahaya dipusatkan pada kedua tokoh itu).
Chorus
Anak satria adalah satria tapi satria dan satria ada berbeda.
Solo
Perbuatan, perbuatan itulah nilai dan ukuran.
Maunya membersihkan dunia nyatanya ia mengotorinya.
Chorus
Bila dipimpin benci dan dendam pandangan tajam menjadi buram hati nurani tenggelam dalam.
Sumber: Horison, Kitab Nukilan Drama
Kelompok yang dipimpin oleh Teguh Karya ini, semula bernama Teater Populer Hotel Indonesia. Anggota awalnya berjumlah sekitar 12 orang, berasal dari ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), mahasiswa dan para teaterwan independen. Mereka mempersiapkan diri sejak awal 1968 dan berlatih di panggung Ballroom Hotel. Manajemen kelompok ini memang berpayung di bawah Departemen Seni & Budaya Hotel Indonesia.
Jangkauan utama kelompok ini adalah menanamkan apresiasi teater terhadap masyarakat dengan pendekatan bertahap. Gebrakan demi gebrakan telah berhasil menggaet sekitar 3000 peminat
yang bersedia menjadi penonton tetap dengan membayar iuran.
Produktivitas kelompok ini luar biasa. Untuk masa dua tahun, Teater Populer HI sanggup menggelar produksi panggung sekali sebulan. Di dalam proses perjalanannya, kelompok ini kemudian memisahkan diri dari manajemen Hotel Indonesia dan mengubah nama grup menjadi Teater Populer.
Karya-karya pentas yang dianggap kalangan kritikus sebagai puncak eksplorasi kelompok ini, antara lain; Jayaprana karya Jef Last, Pernikahan Darah karya Federico García Lorca, Inspektur Jendral karya Nikolai Gogol, Woyzeck karya Georg Büchner, dan Pilihan Dewa karya Bertolt Brecht, semuanya disutradarai Teguh Karya.
Kegiatan Teater Populer bukan hanya di panggung, melainkan juga di televisi. Pada tahun 1971, kelompok ini melahirkan sebuah karya film berjudul Wajah Seorang Laki-laki.
Sejak saat itu, teater-film-televisi, merupakan bagian kegiatan yang tak terpisahkan dari kelompok ini.
Banyak nama mencuat lewat kelompok ini. Selain, tentu saja, Teguh Karya, yang kemudian dianggap sebagai guru teater dan film Indonesia saat ini, lahir pula Slamet Rahardjo Djarot, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Niniek L. Karim, Sylvia Widiantono, Dewi Matindas, Alex Komang, dan lain-lain.
Sumber: www.id.wikipedia.org
Sumber: www.suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar