Selama hampir setengah abad, masyarakat di daerah merasa tidak mendapat perlakukan yang wajar dan adil. Bahkan selama tiga puluh tahun lebih masyarakat di daerah mengalami proses marjinalisasi dari panggung politik nasional. Hal itu terjadi sebagai akibat dari begitu kuatnya sentralisasi kekuasaan selama ini.
Sejak 1 Januari 2001, kita mulai mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah yang tentu saja berbeda sama sekali dengan apa yang sudah dipraktekkan selama 25 tahun melalui UU nomer 5 tahun 1974. Selama itu pula, sentralisasi kekuasaan dan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah diatur melalui asas “Dekonsentrasi”. Atas nama menjaga persatuan dan kesatuan, daerah tidak dilibatkan secara penuh dan lebih banyak menerima kebijakan yang diturunkan dari pusat serta tidak diberi peluang untuk mengambil inisiatif jika sekiranya akan merugikan kepentingan pusat, termasuk didalamnya yang terkait dengan rekrutmen politik dan birokrasi pada tingkat lokal.
Dan setelah pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan, antara lain:
- Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia kualitatif.
Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
- Bangkitnya egiosemtrisme ditiap daerah.
- Karena keberhasilan ekonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial (tercermin dalam PAD. APBD, dan lain-lain) pemerintah daerah
- bisa melupakan visi dan misi otonomi yang seharusnya untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
- Resiko KKN.
- Orientasi Pemda pada cash inflow, bukan pendapatan. Orientasi pada pemasukan kas dapat mendorong pemda untuk mengambil langkah apapun untuk menambal kekurangan APBD.
Terima kasih
1 komentar:
ma kasi walaupun hanya sedikit tapi sangat berharga "moga kedepan tambah meningkat"
Posting Komentar