-----

Perempuan-Perempuan Perkasa

Aku pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orangutan, atau wanita yang berani mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di Sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.

Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi hukum, keadilan, dan hak-hak asasi. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi.

Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memperlihatkan sebuah gambar.

Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan.

”Inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.”

Beliau tak melanjutkan ceritanya.

Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar menyambar. Trapani dan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, dan Sahara memakai jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel” (Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya.

Kami sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.

Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual.

Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumah-rumahan dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami ketika kami disunat, mengajari kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami air jeruk sambal.

Mereka adalah ksatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.

Sumber: Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, dengan penyesuaian

Share ke : _

1 komentar:

Fitri Pmreload mengatakan...

baru tahu.. thx infonya

Posting Komentar

 
© 2011 Terus Belajar Berbagi Kebaikan | www.jayasteel.com | Suwur | Pagar Omasae | Facebook | Rumah Suwur