-----

Betapa Sulitnya Memberantas Korupsi

Betapa Sulitnya Memberantas Korupsi

Oleh: M Ali Zaidan
(anggota Komisi Kejaksaan)
 
Tanda-tanda kegagalan untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU) telah di ambang mata. Masa kerja dewan sebagaimana diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi akan segera berakhir, sementara tenggat penggantian undang-undang ditetapkan tanggal 19 Desember tahun ini. Pemerintah masih dengan iktikad baik menunggu pengesahan undang-undang secara normal. Sehingga, tidak segera mengeluarkan perppu tentang hal itu.

Perlawanan balik oleh pihak-pihak yang tidak menyukai eksistensi KPK semakin nyata. Malahan terjadi pembiasan dalam cara berpikir. Seperti, dikemukakan bahwa jika pengadilan tindak pidana korupsi tetap dipertahankan, beban negara semakin berat karena harus membentuk pengadilan tipikor di kabupaten-kabupaten. Jika jalan pikiran ini diikuti, tentu kebangkrutan bangsa hanya menunggu waktu.

Pengadilan tipikor tidak harus berada di setiap provinsi atau kabupaten, mengingat tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime dan hanya ditangani oleh lembaga yang khusus. Oleh karena itu, pembentukannya harus dilakukan secara selektif dan representatif. Dengan melihat, seberapa jauhkan urgensi suatu daerah untuk dibentuk pengadilan khusus itu.

Pemerintah tentu memiliki pertimbangan, baik aspek administratif maupun finansial untuk menyetujui pembentukan pengadilan khusus itu. Dengan demikian, jalan pemikiran itu hanya menggeneralisasi dan tidak berdasarkan konsepsi berpikir yang jelas. Paradigma pemberantasan korupsi belum sepenuhnya dimiliki oleh aparatur negara, terutama yang membidangi masalah hukum, bahkan justru menimbulkan kecemburuan di dalam lingkungan aparatur hukum sendiri. KPK seharusnya menjadi  trigger mechanism bagi lembaga hukum konvensional untuk melakukan hal yang sama.

Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya diletakkan dalam bingkai hukum semata, akan tetapi dalam skala nasional yang lebih luas, seperti aspek ekonomi, budaya, dan politik mempengaruhi langkah itu. Seberapa jauhkan pemberantasan korupsi telah memberikan dampak positif di beberapa bidang di atas. Seperti, munculnya iklim dan semangat kerja bagi aparatur negara atau malahan menyebabkan aparatur negara enggan berbuat, karena dapat berisiko berhadapan dengan aparat hukum. Dalam hal ini, langkah pengadilan tipikor tidak hanya berjuang agar terdakwa dihukum semata, akan tetapi misalnya seberapa jauhkan  recovery ekonomi dapat dipulihkan dari proses hukum itu.

Selektif dan representatif
Lembaga  super body , seperti KPK dan pengadilan khusus tipikor hingga saat ini tetap dibutuhkan, karena penyimpangan keuangan negara telah begitu meluas dan sistemis. Dengan demikian, upaya sistematis untuk menghadapinya perlu ditingkatkan. Aparat hukum yang menangani masalah korupsi harus dibebaskan dari keterkungkungan birokrasi, yang berakibat lambannya kinerja pemberantasan korupsi.

Oleh karena itu, keberadaan hakim  ad hoc merupakan sebuah keharusan. Pendekatan yang bersifat selektif dan representatif harus dikedepankan, jumlah hakim  ad hoc tidak harus mencapai jumlah ribuan sebagaimana diwacanakan selama ini. Yang terpenting hakim  ad hoc itu memiliki visi dan misi yang kuat untuk membersihkan negeri dari penyakit kronis ini. Kelompok penggiat antikorupsi atau kalangan intelektual dapat menjadi bagian dari pengadilan itu. Keduanya dipercaya memiliki visi yang sama menghadapi kejahatan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Keduanya telah terbukti memiliki tingkat toleransi yang rendah, bahkan  zero tolerance jika anggota kelompoknya melakukan penyimpangan. Tidak ada semangat untuk membela korps sama sekali, sikap itu amat menguntungkan pemberantasan korupsi.

Selektivitas itu dipersyaratkan agar mereka yang akan menangani berbagai kasus korupsi, memiliki komitmen yang kuat karena tingkat sensitivitas yang tinggi. Sensitivitas itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kepedulian atas nasib bangsanya, yang semakin memprihatinkan. Akibat memiliki sensitivitas pribadi yang tinggi, mereka akan menjauhkan segala sesuatu yang berbau formalitas dan prosedural tanpa mengabaikan aspek kepatutan dan kewajaran. Selama ini ganjalan terbesar penanganan korupsi ditengarai lebih disebabkan oleh faktor prosedural, yang kental mengakibatkan rasa keadilan dikesampingkan.

Ada pendapat yang menyebutkan bahwa KPK tidak dapat meng-SP3-kan suatu kasus, sesungguhnya tidak selalu benar, KPK ternyata lebih manusiawi ketika mengusut perkara korupsi saat terdakwanya meninggal dunia atau menderita suatu penyakit, yang tidak dapat lagi diharapkan sembuh. Ternyata lembaga yang dituduh  super body sekalipun masih memiliki hati nurani ketika berhadapan dengan koruptor. Hati nurani ini menjadi barang langka ditemukan di lingkungan badan peradilan konvensional.

Sehingga, ketika mengadili beberapa anak yang dituduh melakukan perjudian, maupun dalam kasus pencemaran nama baik terhadap suatu institusi yang melayani konsumen, hukum begitu keras dan aparatur hukum begitu kaku menjalankannya. Haruskah KPK mengalami nasib yang sama dengan Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) lalu yang harus gulung tikar akibat  judicial reviewWallahu'alam . Yang jelas korupsi adalah musuh bersama yang harus dihadapi dengan komitmen tinggi tanpa kompromi, tentu dengan cara-cara yang tidak biasa. Kita semua memiliki komitmen yang sama menghadapi kejahatan yang saat ini tergolong pelanggaran hak asasi manusia ini.

Share ke : _

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2011 Terus Belajar Berbagi Kebaikan | www.jayasteel.com | Suwur | Pagar Omasae | Facebook | Rumah Suwur