Setelah Garis Kemiskinan Sajogyo
Ivanovich Agusta
Seusai memperoleh penghargaan sebagai cendekiawan berkomitmen dari harian Kompas tahun 2008, pada pertengahan tahun ini Sajogyo kembali dianugerahi Achmad Bakrie Award dalam pemikiran sosial. Penghargaan dipersembahkan atas karya monumentalnya, yaitu garis kemiskinan Sajogyo.
Garis kemiskinan itu digunakan secara luas sejak tahun 1977, sebelum akhirnya pemerintah secara resmi menggunakan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) mulai tahun 1984.
Namun, kelebihan karya Sajogyo yang hingga kini tetap diakui ialah kepraktisan penggunaannya untuk kehidupan sehari-hari. Seorang petani gurem dengan mudah menyatakan dirinya miskin saat tidak mampu makan lebih dari sekali dalam sehari.
Meski memiliki sejarah emas, tidak banyak yang menyadari secara mendalam kelebihan garis kemiskinan Sajogyo ini. Konsekuensinya amat jauh sehingga sampai tiga dekade pun belum ada pihak yang (mampu) merevitalisasi garis kemiskinan tersebut.
Garis Sajogyo
Setelah melakukan survei gizi dan pangan rumah tangga pada awal 1970-an, Sajogyo menemukan artikel pengukuran garis kemiskinan berbasis gizi dari Schikele. Di kemudian hari survei gizi itu merekomendasikan program monumental taman gizi dan usaha peningkatan gizi keluarga. Dan ide Schikele dioperasionalkan ke dalam garis kemiskinan Sajogyo.
Dari sejarah kelahiran terlihat kaitan erat antara nilai gizi terendah dan garis kemiskinan. Nilai gizi minimal setara 2.100 Kkal per orang dalam sehari berlaku untuk penduduk Indonesia menurut susunan umur, jenis kelamin, perkiraan tingkat kegiatan (fisik), berat badan, dan perkiraan status fisiologis.
Yang penting diperhatikan, pada saat data dikumpulkan lebih luas daripada satuan rumah tangga, maka ciri-ciri kebutuhan gizi manusia Indonesia semakin menjauh. Simpangan datanya menurun hingga dua deviasi standar sehingga masih bisa ditoleransi hingga 1.900 Kkal per orang per hari.
Adapun proses pengumpulan data gizi dengan menggunakan pendekatan ingatan (recall) sering kali terlapor lebih rendah (under reporting) hingga 20 persen. Atas dasar pengalaman ini, maka garis kemiskinan terbawah dapat ditoleransi hingga 1.700 Kkal per orang per hari.
Dengan memerhatikan pengalaman lapangan ini, garis kemiskinan Sajogyo menjadi lebih relevan bagi warga miskin di Indonesia. Misalnya, jika dibandingkan dengan (hanya satu) garis kemiskinan BPS senilai 2.100 Kkal per orang per hari, yang melebihi kebutuhan minimal gizi dan pangan riil.
Tiga garis
Lain pula dari pendirian BPS, Sajogyo perlu menyusun garis kemiskinan lebih dari satu agar kian tajam mengukur kemajuan golongan bawah. Dirumuskannya garis melarat (destitute), miskin sekali (very poor), dan miskin (poor).
Berdasarkan nilai tukar beras, dibedakan pula garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan. Di desa dipancang garis 180 kg, 240 kg, dan 320 kg setara beras per orang per tahun. Untuk kota nilainya 270 kg, 360 kg, dan 480 kg setara beras per orang per tahun.
Setelah ditemukan hubungan regresif antara pengeluaran rumah tangga dan pangan, sejak tahun 1979 garis terbawah dihilangkan. Dan garis "miskin sekali" diganti menjadi "nyaris miskin" yang setara dengan data 1.700 Kkal per orang per hari (harap di-mark up 20 persen). Artinya, garis nyaris miskin berfungsi sebagai lampu merah karena di bawah garis itu pastilah tidak mencukupi untuk hidup.
Untuk mengoperasionalkan garis kemiskinan, nilai kalori dikonversi ke nilai rupiah. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), misalnya, Sajogyo menemukan bagi golongan miskin tahun 1976 nilainya Rp 32,16 per 1.000 Kkal, kemudian meningkat menjadi Rp 77,15 per 1.000 Kkal pada tahun 1984. Inilah inflasi riil bagi orang miskin.
Demi kepraktisan, nilai rupiah bagi kalori lalu dipertukarkan dengan nilai beras. Beras mudah dipahami sebagai sumber kalori dan harganya tidak fluktuatif.
Sajogyo lebih memercayai rekaman harga beras dalam Susenas daripada rata-rata harga beras di pasar yang pernah diacu BPS. Susenas lebih masuk akal di mana harga beras di pedesaan lebih rendah daripada di perkotaan.
Setelah garis kemiskinan
Saat ini seluruh konsep garis kemiskinan, baik dari Sajogyo, BPS, maupun konsultan asing, habis dikritik karena tidak memberi alamat pasti, di manakah penduduk miskin dapat ditemukan. Sebagai gantinya dikembangkan sensus rumah tangga miskin yang mengandung data nama sekaligus alamat rumah mereka.
Namun, sensus segera menuai kritik tajam lantaran tokoh masyarakat cenderung memasukkan sebanyak mungkin warganya agar turut mencicipi kue pembangunan.
Sajogyo sendiri sejak awal menyadari bahwa penemuan aspek kuantitatif barulah tahap awal pendalaman pengetahuan kemiskinan di Indonesia. Untuk memutakhirkan garis kemiskinan Sajogyo, kita cukup menghitung nilai rupiah dari 1.700 dan 1.900 Kkal per orang per hari dalam periode lima tahunan.
Setelah garis kemiskinan ditemukan, yang lebih dibutuhkan ialah studi kualitatif guna menggali jeratan akar struktur kemiskinan. Penemuan beragam diagram sebab-akibat kemiskinan di setiap daerah menjadi pisau yang lebih tajam guna memotong akar kemiskinan Indonesia.
Ivanovich Agusta Dosen Sosiologi Kemiskinan dan Pemberdayaan Sosial, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
0 komentar:
Posting Komentar