BATIK tiba-tiba naik daun. Presiden pun mengimbau seluruh rakyat Indonesia untuk mengenakan batik di hari Jumat (2/10). Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo tak kalah heboh. Ia mengeluarkan Instruksi Gubernur No 136 Tahun 2009 tentang Pemakaian Baju Batik pada 2 Oktober 2009 dan Seruan Gubernur No 9 Tahun 2009 Kepada Masyarakat Jakarta (tentang hal yang sama). Instruksi dan Seruan Gubernur DKI itu disampaikan Deputi Gubernur bidang Kebudayaan dan Pariwisata, Aurora Tambunan, beberapa hari lalu.
Sungguh beralasan jika bangsa ini kemudian mbungahi (menjadi bangga) atas kabar masuknya batik Indonesia sebagai nominasi untuk dikukuhkan pada Daftar Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO (Badan PBB Mengenai Pendidikan, Ilmu, dan Budaya). Apalagi, kabar itu pertama kali tersiar tak lama setelah gonjang-ganjing Indonesia-Malaysia soal Tari Pendet. Maka kabar itu tentu bagaikan hujan yang mengguyur padang pasir. Hasilnya, imbauan, seruan, ajakan, bahkan instruksi pun keluar.
Lantas, warga beramai-ramai membeli "batik". Yang semula tak doyan, bahkan tak peduli pada batik, jadi begitu antusias di suasana euforia ini.
Jika menengok lebih dalam soal batik, warisan budaya, dan usaha pelestariannya, rasanya segala imbuan, seruan bahkan instruksi tadi memang terlihat sebagai bagian dari euforia semata. Sebuah kebungahan - kegembiraan luar biasa - yang bisa jadi sangat melupakan hal lain yang sejatinya perlu dilakukan. Pemaknaan dan pemahaman atas batik sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan oleh bangsa ini boleh jadi terlepas dari konteks perayaan dan euforia tadi.
Sah saja merayakan batik namun sadarkah pemerintah bahwa pengukuhan itu membawa tanggungjawab untuk mendidik dan membangun kesadaran bangsa ini untuk tak hanya sekadar berbangga menggunakan batik - yang pada kenyataan mereka hanya menggunakan tekstil bermotif batik - tapi juga memahami seperti apa batik Indonesia itu? Atau mengapa UNESCO memilih batik Indonesia dan bukannya batik Malaysia, India, atau Thailand, misalnya.
Sadarkah si pemakai batik tentang inti dari batik Indonesia? Teknologi, filosofi, bahan yang digunakan, makna desain, demikian pula dengan urusan tata cara pemakaian. Pahamkah si pemakai batik industri - batik printing - atau tekstil bermotif batik, dan bukannya menggunakan kain batik bermotif , tentang hubungan antara batik dan para raja Jawa sehingga ada motif-motif tertentu menjadikannya khusus karena hanya digunakan oleh para raja.
Melakukan sesuatu, termasuk menggunakan batik hari ini, atas dasar imbauan, instruksi para petinggi tanpa sedikitpun pemahaman dan pemaknaan tentang batik Indonesia, Warisan Budaya Tak Benda, dan upaya pelestarian terasa bikin ngilu.
Pemprov DKI punya satu museum yang bisa memberi pencerahan atas segala sesuatu tentang batik Indonesia. Tapi lokasi museum itu hingga kini ada di belakang pedagang kaki lima (PKL) di Jalan KS Tubun, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tak ada satu pun kalimat dari otoritasdi DKI yang mengarahkan dan mendorong warga, apalagi menegaskan, Museum Tekstil sebagai wadah yang paling punya keterkaitan dalam urusan batik dan warisan budaya.
Anak sekolah pun diimbau untuk mengggunakan batik hari ini, bukannya diajak ke Museum Tekstil untuk mengerti apa dan bagaimana batik Indonesia.
Di lain pihak, jika bicara soal budaya Jakarta, Pemprov DKI seperti mati rasa. Bicara batik, bahkan menginstruksikan pegawai Pemprov Dki untuk menggunakan batik, tapi Museum Tekstil yang biasa mengadakan workshop batik dan tersimpan koleksi batik, kondisinya tak berubah. Kusam muram dikangkangi PKL. Lokasinya pun sama sekali tak strategis.
Hal lain lagi, soal Wayang Revolusi yang tak jelas penyimpanannya, tapi Pemprov DKI tak juga beraksi malah ikut hanyut dalam euforia. Wayang Revolusi yang sudah sejak Agustus 2005 dikembalikan dari Wereldmuseum Rotterdam kini masih tersimpan di Kedutaan Belanda. Padahal, harusnya warga sudah bisa menikmati koleksi tersbut di Museum Wayang.
Belum lagi soal budaya Betawi yang belum juga ada greget. Folklor Betawi itu seperti apa? Sudahkah bidang penelitian dan pengembangan di dinas yang kini bernama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI meneliti folklor Betawi. Ada banyak aspek budaya di kota ini yang masih sangat perlu perhatian dan jika memang ingin dikaitkan dengan momentum batik Indonesia yang masuk dalam Daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, mengapa dalam imbauan, seruan, dan ajakan tak ditambahkan, "...sebagai bagian dari identitas kota pakailah batik Betawi..." Jika sudah demikian, pertanyaan lain akan menyusul, seperti apa itu batik Betawi? Lantas, mulailah dengan memperkenalkan batik Betawi dan budaya lain yang jadi ciri khas kota ini, sebelum bicara lebih luas, Indonesia.
Selamat merayakan warisan budaya kita!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar