-----

JAKA UMBORO

KISAH PENGEMBARAAN JAKA UMBORO

Cerita Humor Rudi Setiawan

Kupandangi wajah guruku Ki Ageng Wilis yang sangat teduh tersebut, sambil aku menunggu kalimat bijak apa yang akan beliau titahkan padaku.

Sudah semenjak pagi selepas Sholat Subuh tadi Ki Ageng memintaku untuk menemui beliau di gubuk mungil ini, letaknya di belakang padepokan Panjer Bumi di lereng gunung Wilis yang begitu asri.

Sedari tadi kami masih terdiam terpaku, sementara suara gemericik air sungai kecil yang berhulu dari Air Terjun Sedudo, berpadu dengan kicau burung prenjak menambah kesyahduan kebisuan kami.

Tiba-tiba suara dehem beliau memecah kebisuan ini, lalu selanjutnya dengan suara yang penuh kelembutan beliau berkata, "Ngger, muridku Jaka Umboro, kamu tahu apa maksudku untuk mengundangmu kesini?"

Belum sempat aku menjawab pertanyaan tersebut, Ki Ageng Wilis melanjutkan titahnya, "Ketahuilah ngger, sudah delapan tahun angger berguru dan menuntut ilmu disini sejak ayahmu  sekaligus juga sahabatku Ki Jembar Panuntun, menitipkanmu padaku."

"Dan aku merasa sudah semua ilmuku kuajarkan kepadamu, mungkin saat ini adalah yang terbaik bagimu ngger, untuk memulai pengembaraanmu, mendarma baktikan ilmumu pada jalan kebajikan ".

"Aku tak hendak mengusirmu atau menundungmu pergi dari padepokan ini, tetapi seperti lazimnya para santri, jika telah cukup ilmu yang ditimba, maka sudah seyogyanyalah angger mengabdikannya pada masyarakat dan Negara, ngayomi wong-wong kang ketindas, ngemong wong-wong kang kesasar lan nuntun wong-wong kang keblinger."

"Dan perlu juga engkau ketahui ngger, tadi malam dalam tafakurku aku seolah menerima pesan ghaib dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan para Wali di Kraton Demak Bintoro, agar aku mengutus salah seorang muridku untuk menghadap Sultan Demak, karena ada tugas yang maha berat yang akan diberikan kepada kita."

"Setelah aku menimang dan menimbang maka hanya engkaulah ngger yang kiranya akan mampu mengemban tugas tersebut."

Rentetan kalimat dan titah dari Ki Ageng Wilis membuatku terhenyak, sudah sekian tahun aku berada di padepokan ini sejak usiaku masih belasan, menimba ilmu batin maupun ilmu kanuragan, demikian banyak peristiwa indah yang aku alami tentu terasa berat bagiku jika meninggalkan padepokan ini.

Suasana keguyuban dan keakrapan diantara para murid Ki Ageng, suasana padepokan yang dikelilingi oleh alam yang asri, tentram dan indah, dan yang lebih membuatku terasa berat untuk meninggalkannya adalah sosok Dyah Ayu Wulandari.

Iya, Dyah Ayu Wulandari, gadis manis putri semata wayang Ki Ageng Wilis, sudah lama aku menaruh hati padanya, dan cintakupun tak bertepuk sebelah tangan, sebab bak gayung bersambut diapun menerima pucuk cintaku.

Senyumnya yang menawan kala dia membawakanku kendi air putih serta sebungkus tiwul, setiap saat istirahat siang sehabis aku mengerjakan ladang milik Ki Ageng di kaki gunung. Atau setiap sore hari sehabis sholat Asyar dan ngaji Bathokan di Masjid depan padepokan, kusaksikan wajah manis itu sedang memintal benang dari balik jendela rumah Ki Ageng.

Lamunanku tentang Dyah Ayu Wulandari seketika buyar, manakala Ki Ageng Wilis melanjutkan titahnya padaku.

"Bagaimana ngger, kira-kira siapkah angger menerima tugas dari Sultan Demak?"

Dengan sedikit gugup karena aku takut Ki Ageng sedang membaca pikiranku yang sedang melamunkan putrinya, akupun menjawab: "Siap Guru. Kawula siap untuk menjalankan titah Guru, apalagi ini adalah tugas dari Negara, maka sudah menjadi kewajiban kawula untuk ikut bela Negara, apabila Negara memang membutuhkan tenaga kawula ".

" Baiklah ngger jika angger benar-benar telah siap, segeralah siapkan bekal perjalanan angger, sebab esok pagi angger mesti berangkat memulai tugas mulia ini ".

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pagi-pagi sekali aku sudah harus meninggalkan padepokan Panjer Bumi, didepan pintu gerbang Ki Ageng Wilis dan bebarapa santri temanku melepas kepergianku dengan haru, sementara di dalam rumah dari balik pintu kusaksikan Dyah Ayu Wulandari meneteskan air matanya. Tetapi aku harus pergi meski berat langkah kaki ini terayun, dalam hati aku bergumam:
Aku pergi dengan gamang hati
Langkah merambat memijak bumi
Tinggalkan jejak-jejak sepi sunyi
Burung prenjak mengejeku sambil bernyanyi

Aku pergi membawa lara hati
Kepada pujaan kutambatkan mimpi
Bila esok atau lusa aku datang kembali
Akankah dia masih setia menanti

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Tiba di suatu lembah yang ranum matahari mulai kemuning merangkak pelan menuju ujung cakrawala. Selepas sholat Asyar ditepian tanggul bantaran bengawan Madiun, sambil duduk terfekur aku melafadzkan wirid-wirid ajaran guru, " Khasbunallah Wa Ni'mal Wakiil, Ni'mal Maula Wa ni'man Nashiir " (Hanya Allah lah sebaik-baiknya Penjaga dan sebaik-baiknya Penolong) berulang-ulang.

Sambil merenungkan ke-Maha Agungan Gusti Allah, karya cipta-Nya yang tergambar begitu indah di seluruh jagad raya ini. Kusaksikan sebuah lukisan alam semesta yang mempesona sore ini. Hamparan sawah dan rerumputan menghijau permai, aliran air Bengawan Madiun membisu penuh arti, matahari yang mulai terkantuk di ujung senja, dari kejauhan tampak guratan-guratan lekuk tubuh Gunung Wilis membujur bak raksasa yang sedang tertidur, langit biru membentang luas tanpa ujung. Yaa Illahi, sungguh tak sia-sia Engkau ciptakan semuanya ini.

Langit mulai menguning saat sayup-sayup terdengar tembang anak-anak gembala, yang sedang menggembalakan kerbaunya di dataran lembah subur di tepi sungai ini.
  
  Ilir-ilir ilir-ilir, Tandure woh sumilir
  Tak ijo royo-royo, Tak sengguh kemanten anyar
  Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
  Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
  Dodotiro-dodotiro, kumitir bedah ing pinggir
  Jumratana dondomono, kanggo sebo mengko sore
  Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
  Yoo surak ooo, suraak hii yooo.

Tembang ini menggambarkan perkembangan syi'ar Islam yang sedang tumbuh mekar, seperti daun yang ijo royo-royo dan baru namun indah seindah Pengantin anyar, memberikan nuansa yang damai diseluruh pelosok negeri Demak Bintoro, selepas dihantam huru-hara perang Paregeg, perang saudara antar Keluarga Kerajaan Majapahit.
Sekarang telah muncul kerajaan baru dengan nafas Islam yang membawa angin kesejukan dan kedamaian.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Sesampainya di Keraton Demak, kakiku setengah gemetar tatkala diantarkan kepala pejaga gerbang kerajaan menghadap ke istana Raja guna mengantarkan nawala (surat pengantar) dari Ki Ageng Wilis kepada Sultan Demak .

Sultan Demak, tampak sangat agung dan berwibawa duduk diatas dampar istananya yang sederhana, para Sunan duduk berjejer di sekeliling beliau, wajah-wajah mereka memancarkan aura keteduhan dan kearifan yang luar biasa.

Setelah membaca nawala dari Ki Ageng Wilis, Sultan Demak bertitah:

"Jadi andika yang diutus oleh Ki Ageng Wilis sebagai wakil beliau untuk tugas menumpas kekacauan yang ditimbulkan oleh para begal dan berandal Alas Roban."
"Sendiko dawuh Sinuwun," jawabku

Kemudian beliau melanjutkan titahnya :

"Aku percaya melihat dedeg piadeg andika yang gagah perkasa ini, tampaknya tidak salah Ki Ageng Wilis memilih andika, sebab saya yakin tentulah andika murid utama dari beliau yang sudah pasti mumpuni dalam hal ilmu kanuragan dan kesaktian."

"Baiklah jika andika memang sanggup mengemban tugas ini, Kami dan para Sunan disini  akan membantu dengan dukungan kekuatan batin yang akan mengiringi setiap langkah andika."

"Sendiko dawuh Sinuwun," jawabku lagi.

Kanjeng Sunan Kalijaga yang sedari tadi terdiam, kemudian angkat bicara:

"Ngger Jaka Umboro, tetapi sliramu harus hati-hati, Bogel Kaliki ketua dari para begal Alas Roban itu mempunyai kesaktian yang digdaya sekaligus juga sangat kejam dan tak berperi kemanusiaan."

"Sliramu harus terus waspada menghadapi kesaktian dan muslihat liciknya yang memang berbahaya, sebab telah aku dengar banyak sekali para pendekar yang mencoba menumpasnya harus menyerah kalah dan mati ditangannya."

"Untuk itu ngger, aku ingin menitipkan pusakaku kepadamu sebagai bekal dalam menghadapinya nanti."

Selanjutnya dari balik bajunya beliau mengeluarkan sebilah keris pusaka, kemudian menyerahkannya kepadaku.

Tanganku gemetar menerima keris pusaka Kyai Sengkelat milik Sunan Kalijaga yang hendak dipinjamkannya kepadaku itu. Seolah-olah aku tak percaya bahwa aku harus menerima amanah berupa keris pusaka yang sangat ampuh itu.

"Nyuwun pangestunipun kanjeng Sunan, semoga kawula bisa menerima amanah kanjeng Sunan ini, serta mampu menyelesaikan tugas Negara yang mulia ini dengan tuntas," kataku.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Alas Roban memang angker, tak salah memang tidak sembarangan orang berani memasuki kawasan hutan ini, ibaratnya Janmo Moro Janmo Mati Sato Moro Sato Mati, manusia berani masuk maka dia kan mati, binatang buas berani masuk maka dia juga akan mati.

Dengan terus waspada aku melangkah masuk kedalamnya, sambil menyiagakan seluruh panca inderaku, aji-aji Ciptaning Rasa Hening ing Pikir wejangan guruku kulafadzkan pelan-pelan denga penuh konsentrasi.

Seketika seluruh panca inderaku seolah terasa lebih tajam dan peka, mataku seolah mampu menyapu jarak ribuan hasta ditengah-tengah hutan belantara yang gulita, telingaku seperti mampu mendengar gesekan daun-daun kering yang berjatuhan dari rantingnya, hidungku seolah mampu mencium seluruh aroma pepohonan dan ilalang yang tumbuh liar tak beraturan.

Sembari terus memasang sikap waspada aku bergerak menuju tengah-tengah belantara Alas Roban, tempat yang konon katanya merupakan sarang dari gerombolan begal dan penyamun yang menakutkan itu.

Tiba-tiba terdengar suara orang-orang tertawa terbahak-bahak, kemudian bermunculan-lah beberapa kelebat bayangan, keluar dari persembunyian dibalik pohon-pohon besar yang tumbuh liar.

Dua belas orang mengepungku dari berbagai penjuru, sambil terus tertawa mereka mengejeku, tampang-tampang mereka yang seram dan brewokan plus baju-baju mereka yang hitam semakin menambah keberingasan di wajah mereka.

Tak salah jika mereka dijuluki sebagai gerombolan Tiga Belas Setan Penghuni Alas Roban melihat wajah mereka yang menyeramkan itu tampaknya cocok julukan itu disematkan pada mereka.

Gerombolan begal, yang telah menebar teror dan kekacauan didaerah pantai utara Jawa dan sekitarnya, telah banyak kampung-kampung penduduk yang dijarah dan dirampok, telah banyak gadis-gadis yang diculik dan diperkosa oleh mereka.

Tetapi ini baru dua belas orang kemana yang satu-nya lagi tanyaku dalam hati.

"Hai siapa kau bocah bagus, berani-beraninya kau memasuki kawasan kami, kamu sudah bosan hidup ya?" salah seorang dari mereka berkata.

"Ha ha ha ha ha," lalu ditimpali dengan tawa yang menggema dari yang lainnya.
" Aku Jaka Umboro, aku ditugaskan oleh Sultan Demak untuk menumpas kalian, untuk membinasakan kebiadapan kalian," teriaku lantang.
"Ha ha ha ha ha," kembali tawa lantang mereka bergema bersautan.
"Apa kami tak salah dengar, bocah ingusan macam kamu berani menantang kami? Ha ha ha ha, jangan mimpi bocah bagus! Ha ha ha ha."
"Menyerahlah kalian atau akan aku kirim ke neraka ! ", kataku tegas.
"Ha ha ha ha ha , sombong benar bocah ini tak sabar aku mencoba keberaniannya ", seorang dari mereka kemudian meloncat menerkamku dengan tendangan kaki kanan mengarah ke kepalaku.

Dengan sedikit miringkan kepala, kuberhasil menghindar dari tendangannya, lalu secepat kilat pula kuayunkan pukulan Tapak Baja tepat kearah tulang rusuknya. Dia tak bisa menghindari pukulanku, dengan keras pukulan Tapak Bajaku menghantam tulang rusuknya, dia terlempar jatuh ketanah tewas seketika.

Sebelas kawannya marah bukan kepalang melihat temannya aku tewaskan, mereka lalu menyerbuku dari segala penjuru. Dengan jurus Alap-alap Nyamber Langit aku melompat terbang keatas menghindari serbuan mereka, lalu kulanjutkan dengan jurus Alap-alap Nyamber Bumi, dengan kepala menukik kebawah kedua telapak tanganku mencakar mengincar batok kepala mereka.

Dua dari mereka tak sempat mengelak cengkeraman cakaranku, lalu keduanya jatuh tersungkur tewas dengan batok kepala pecah. Sisa-sisa gerombolan itu menjadi semakin liar menyerangku, golok-golok mereka berkelebatan berusaha menyabet tubuhku. Dengan sigap aku terus bergerak menghindari serbuan mereka. Dan sekali-sekali pukulan Tapak Bajaku, mampu kuhujamkan satu persatu kearah mereka.

Setelah bertarung hampir sepuluh jurus, akhirnya aku berhasil menewaskan mereka semua. Bau anyir darah berceceran dimana-mana, mayat-mayat mereka bergelimpangan tumpang tindih. Balasan yang setimpal atas kejahatan dan kebejatan mereka selama ini.

"Bangsat, bedebah siapa yang berani melakukan ini ditempatku! ", tiba-tiba terikan menggelegar muncul dari kejauhan.

Secepat kilat sebuah bayangan tinggi besar berkelebat lalu muncul didepanku. Rupanya ini dia si Bogel Kaliki, ketua dari gerombolan begal Tiga Belas Setan Penghuni Alas Roban. Tokoh dunia hitam yang paling kejam dan ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan.

"Hei siapa kau bocah keparat, berani membuat keonaran ditempatku dan membantai semua pengikutku ?", tanyanya geram.
"Tak perlu kau tahu siapa aku, yang jelas aku akan menyeretmu menghadap Sultan Demak sebagai balasan atas semua kejahatanmu ", tukasku.
"Bedebah ingusan, kau benar-benar membuatku ingin segera menghabisimu, sebagai balasan atas kematian anak buahku, tubuhmu akan kucincang kujadikan makanan harimau piaraanku ", gertaknya.
"Jangan banyak bicara kau, hai manusia bejat, menyerahlah atau akan kukirim kau ke neraka bersama para pengikutmu ", ancamku.

Dia semakin marah, tubuhnya tiba-tiba bergetar, keluar asap mengepul diubun-ubun kepalanya, wajahnyapun berubah memerah darah, rupa-rupanya dia akan mengeluarkan aji pamungkasnya yaitu ajian Singo Barong.

Dengan auman yang menggelegar dia menerjangku seperti singa hendak menerkam mangsanya, meski tubuhnya tinggi dan besar namun gerakannya sangat cepat sekali, ini tanda bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah cukup sempurna.

Beruntung guruku Ki Ageng Wilis mewarisiku ajian Lembu Sekilan, sehingga setiap terkaman dan terjangan dari Bogel Kaliliki, selalu meleset satu kilan jauhnya dari tubuhku.

Diapun menjadi semakin mengganas, terjangan dan cakarannya membabi buta kearahku, dan lagi-lagi semua serangannya berhasil kuhindari. Malah dalam satu kesempatan ketika dia lengah, pukulan Tapak Bajaku telak menghantam punggungnya. Dia terpental jatuh, tapi sungguh hebat memang tenaga dalamnya, telapakku terasa ngilu dibuatnya.

Dia mengerang lalu bangkit lagi, namun tiba-tiba dia mengubah posisinya dengan duduk bersila dan mulutnya komat-kamit membaca mantra ajiannya. Tubuhnya yang semula berwarna merah berubah menjadi kebiru-biruan, kedua telapak tangannya mengepal.

Perlahan dari kedua kepalan tangannya mengeluarkan api, inilah rupanya ajian Tinju Geni  yang merupakan pukulan pamungkasnya itu. Kembali dia mengaum lalu bangkit menerjangku, pukulan tinju geninya terus dilayangkan ketubuhku. Kilatan-kilatan api yang keluar dari kedua tangannya menyambar kearahku, beberapa pukulannya yang meleset menghantam pohon-pohon besar, dan membuatnya hangus terbakar.

Tak mau menjadi korban keganasan pukulan tinju geni, akupun mengerahkan jurus pamungkasku ajian Bolo Sewu, dengan mempercepat gerakan tubuhku, maka seolah tubuhku berubah seperti seribu bayangan. Aji pamungkas yang secara khusus diajarkan Ki Ageng Wilis, dengan menggemblengku di tepian Air Terjun Sedudo.

Bogel Kaliki tercekat kebingungan melihat ribuan bayangku mengepungya dari berbagai penjuru, tenaganyapun mulai kehabisan karena serangan-serangannya yang gagal mengenaiku. Lalu dia cabut Golok Setan senjata andalanya, lalu membabatku membabi buta, namun semua sabetannya hanya mengenai bayang-bayang kosong.

Hampir tiga puluh jurus kami bertarung, hingga akhirnya dalam sebuah kelengahannya aku berhasil menikamkan keris Kyai Sengkelat tepat di jantungnya. Bogel Kaliki mengerang panjang lalu diapun terkapar tewas ditanganku.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Sultan Demak hendak mengangkatku sebagai menantunya, putrinya yang jelita Raden Ajeng Retno Siti Ruhmaningsih hendak dijodohkan denganku.

Pesta pernikahanpun telah disiapkan, semua ubo rampenya sudah di persiapkan oleh para dayang-dayang keraton: dampar penganten, kuwade (dari bahasa Arab: Ku yang berarti Jagalah dan Wadi yang artinya Rahasia maksudnya dalam membina rumah tangga harus bisa menjaga rahasia dan mengayomi pasangannya masing-masing), kembang setaman, janur kuning, beras kuning, sego tumpeng gunung kempul, iwak ikung, semuanya telah ditata dengan rapi, untuk menyambut para tetamu.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Perlahan-lahan kakiku melangkah, didampingi para abdi dan dayang pembawa kembang mayang. Tembang Kebo Giro mengalun begitu lembut diiringi oleh Gamelan Kyai Cundramanik yang bertalu-talu membuat pesta pengantin terasa syahdu. Di ujung sana kulihat Raden Ajeng Retno Siti Ruhmaningsih tampak begitu cantik mempesona, dibalut baju pengantin yang maneko warno, aroma harum dari kembang setaman membuat jantungku berdetak kencang.

Duduk diatas dampar pengantin, didampingi seorang putri nan jelita, aku benar-benar tak pernah membayangkan sebelumnya. Sekilas kulirik wajahnya, diapun tersenyum padaku, jantungku semakin berdetak tak beraturan, aku tertunduk tersipu malu (tapi mau).

Tak dinyana-nyana diajeng Retno Ruhmaningsih tiba-tiba menjawil pundakku lalu berkata :
"Sir, Do you want a cup of coffe ? "

Tergagap aku terbangun dari kantukku, didepanku kulihat gadis cantik pramugari Ettihad Airways sedang tersenyum.

"Sorry, come again ?", tanyaku balik kepadanya.
"Do you want a cup of coffe ?", tanyanya lagi kepadaku.
"Ya, ya but please give a little bit of sugar ? ", jawabku.

Selang beberapa saat kemudian sang Pilot mengumumkan bahwa sekitar tiga puluh menit lagi pesawat akan mendarat di Abu Dhabi airport. Masih terduduk termangu dikursiku aku terngiang-ngiang akan mimpiku.

Sambil kuseruput kopi panas buatan mbak pramugari tadi, dalam hati aku mengumpat : weleh, weleh, weleh, wee lha dalah jebule amung mimpi, ternyata semuanya tadi hanya mimpi, maka gagalah aku menjadi menantu Sultan Demak.

Note: Nama tokoh dan tempat yang tersebut diatas hanyalah fiktif semata, bila ada kesamaan dan persamaan itu hanyalah kebetulan saja, karena kisah ini hanya terjadi di alam mimpi.

Share ke : _

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2011 Terus Belajar Berbagi Kebaikan | www.jayasteel.com | Suwur | Pagar Omasae | Facebook | Rumah Suwur