Republik Ironi
Oleh: Akh Muzakki
(Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Dua bulan terakhir, hati negeri ini berdetak kencang. Ada dua peristiwa besar di tanah air yang membuat detakan jantung ibu pertiwi meningkat. Peningkatan detakan jantung itu merupakan pertanda sakit yang harus menemukan jalan penyembuhannya.
Di ujung sana, saat masih disibukkan untuk mengatasi dampak besar yang ditimbulkan oleh gempa Jawa Barat pada 2 September 2009, publik dikejutkan kembali oleh gempa bumi serupa, namun berskala lebih besar di Sumatra Barat.
Kedua gempa di atas telah menimbulkan korban yang cukup besar, tidak hanya materi, tapi juga jiwa. Misalnya, hingga 22 September 2009, menurut data Pusat Penanggulan Krisis (PPK) Depkes RI, gempa Jawa Barat telah mengakibatkan 217.712 bangunan rusak dengan perincian 213.307 unit rumah, 1.221 unit sekolah, 2.859 masjid/mushala, dan 325 unit perkantoran. Korban yang meninggal dunia mencapai 80 orang.
Sementara itu, gempa Sumatra yang terjadi pada 30 September 2009 itu telah menewaskan lebih dari 700 orang. Jumlah korban tewas diperkirakan akan terus meningkat menyusul masih banyaknya anggota masyarakat yang diperkirakan berada di bawah reruntuhan bangunan atau hilang dan belum bisa ditemukan hingga saat ini.
Akibat gempa di Sumatra Barat itu pula, ribuan rumah ditemukan ambruk, kemudian ratusan pertokoan, perkantoran, dan hotel dikabarkan berantakan. Di ujung yang lain, pada dua bulan terakhir ini, negeri ini menjadi saksi atas perhelatan serangkaian pelantikan anggota parlemen, baik di daerah maupun di pusat, yang berhasil terpilih pada Pemilu 2009 yang lalu untuk periode 2009-2014. Perhelatan pelantikan itu, dalam realitasnya, menelan biaya yang sangat besar.
Pada pelantikan anggota DPR RI, 1 Oktober 2009, misalnya, persiapannya menelan biaya sedikitnya Rp 44,1 miliar. Biaya sebesar itu merupakan total dari alokasi anggaran tiga instansi terkait. Perinciannya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan Rp 11 miliar, Setjen mengalokasikan DPR Rp 26,5 miliar, dan Setjen DPD menyiapkan Rp 6,6 miliar.
Ironi elite
Jumlah biaya sebesar Rp 44,1 miliar di atas memang baru hanya untuk kepentingan pelantikan angota DPR RI. Tentu, jumlah itu akan berubah naik jika ditambahkan dengan biaya yang digunakan untuk persiapan pelantikan anggota parlemen pada level provinsi dan kabupaten/kota.
Jika saja besaran biaya pelantikan anggota parlemen di atas dialihkan (meskipun tidak seluruhnya), tentu jumlah itu akan sangat membantu penderitaan korban gempa bumi di dua wilayah tersebut. Tengoklah penderitaan mereka yang menjadi korban. Jangankan pada kasus gempa Sumatra yang baru terjadi, korban gempa Jawa Barat saja hingga kini dikabarkan masih ada yang terpaksa harus tinggal di tenda pengungsian. Anak-anak juga terpaksa harus menjalani hari-hari pertama masuk sekolah di tenda pengungsian.
Sudah sebulan para korban gempa Jawa Barat harus merelakan diri untuk melepaskan ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan yang selama ini mereka rasakan. Ada yang kehilangan tempat tinggal. Dan, ada pula yang harus kehilangan anak, istri, orang tua, atau sanak sudara. Tengoklah lebih jauh korban gempa Sumatra. Dengan kekuatan gempa berskala lebih besar daripada yang terjadi di Jawa Barat, gempa Sumatra tentu menimbulkan dampak yang jauh lebih besar.
Di samping jumlah korban tewas yang lebih besar, masyarakat yang berhasil menyelamatkan diri harus hidup tanpa pasokan listrik dan akses komunikasi. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang kesulitan pasokan makanan. Lebih jauh lagi, di tengah ketidakpastian penanganan oleh pemerintah, aksi jarah-menjarah mulai banyak ditemukan di sejumlah masyarakat korban gempa di Sumatra Barat.
Tanggap nurani
Memang, terhadap bencana gempa di atas, pemerintah juga telah menerapkan tanggap darurat. Namun, menurut hemat saya, terpuruknya warga masyarakat akibat bencana alam di atas menuntut lebih besar atas munculnya 'tanggap darurat politik' dari para elite negeri ini.
Jika elite sebuah negeri lebih sibuk dengan urusan ritual politik daripada empati pada penderitaan rakyat, negeri itu menjadikan politik kekuasaan-birokrasi sebagai panglima. Orientasi kepada kepentingan kehidupan publik hanya menjadi prajurit semata.
Ironisnya pula, negeri seperti itu dekat sekali dengan praktik akrobatik elite politik Indonesia. Petinggi politik di negeri ini masih kerap menyibukkan diri pada penyelenggaraan ritual-ritual politik berbiaya besar daripada sensivitas pada penderitaan dan atau kemalangan publik.
Publik pun sering diperdengarkan dan dipersaksikan oleh praktik politik elitenya yang lebih mempertaruhkan aktivisme politiknya pada perengkuhan kekuasaan-birokrasi daripada pengabdian pada kebutuhan dan kehidupan publik.
Kepedihan dan kesedihan memang harus menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini, menyusul jatuhnya korban gempa dalam jumlah besar di dua wilayah dalam sebulan lebih. Namun, kepedihan dan kesedihan itu harus diwujudkan dalam bentuk praktik politik yang nyata serta peka terhadap penderitaan rakyat.
Negeri ini membutuhkan elite politik yang negawaran, bukan petinggi yang mengabdi kepada kekuasaan birokrasi. Sudah menjadi praktik yang cukup lama di negeri ini bahwa birokrasi, alih-alih berpihak ke 'bawah' (baca: publik), masih berorientasi untuk pelayanan ke 'atas'. Bahkan, saking kuatnya arus orientasi birokrasi seperti ini, istilah 'waskat' yang mestinya diartikan sebagai kepanjangan dari 'pengawasan melekat' dipelesetkan menjadi 'wajib setor ke atas'.
Kalaulah orientasinya sudah mulai bergeser lebih baik, birokrasi kita masih menjauh dari semangat penguatan nurani. Bila dihadapkan pada kasus bencana alam dan sosial, elite negeri ini masih lebih mengedepankan ketaatan pada birokrasi daripada 'pengabdian' kepada kepentingan rakyat secara lebih besar.
0 komentar:
Posting Komentar