Sungai, dalam sejarahnya, telah memberi manfaat besar bagi umat manusia, hingga kini. Selain sebagai sumber air, sungai juga bermanfaat sebagai sarana perhubungan, sumber tenaga (listrik dengan PLTA _Pembangkit Listrik Tenaga Air), serta juga sebagai sumber pangan, karena menyimpan keragaman plasma nutfah.
Kerusakan lahan berhutan, yang kerap terjadi di daerah dengan kelerengan curam, berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem sungai, yang hulunya ke arah hutan. Ini terjadi karena dalam daur hidro-orologis terdapat suatu rantai perjalanan air: mulai saat hujan hingga bermuara ke laut. Kawasan hutan yang dikategorikan sebagai daerah tangkapan air hujan, merupakan bagian dari mata rantai itu. Sebab, hutan pada daerah perbukitan dan pergunungan berfungsi sebagai penyimpan cadangan air hujan, sekaligus penyarin yang bekerja secara alami. Proses penyaringan dari berbagai strata vegetasi, disertai kemampuan vegetasi menahan laju erosi lapisan atas tanah, mampu mengurangi gangguan pada ekosistem sungai secara alami pula.
Beberapa bencana seperti erosi, pendangkalan sungai di hilir, penurunan kualitas air sungai serta kepunahan spesies, terjadi karena hutan yang berada di hulu mengalami penggundulan. Jika dilakukan secara besar-besaran, akan mempengaruhi persediaan air tanah pada musim kemarau. Ini terkait dengan fungsi hutan sebagai kantung (penahan) air. Pada daerah yang gradien muka air tanahnya tinggi, daerah itu akan mudah kekurangan air di musim kemarau. Alasannya, permukaan air sungai lebih rendah dari permukaan air tanah.
Akibat penggundulan hutan (deforestasi), selain berdampak pada sungai, secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan pohon dan tanaman. Sebab, kandungan lengas tanah yang seharusnya cukup, menjadi berkurang karena air hujan lebih sedikit yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah. Pengaruh lebih luas adalah berkurangnya populasi ikan di sungai.
Beberapa jenis ikan kurang mampu beradaptasi karena terjadi perubahan habitat secara cepat. Perubahan intensitas penetrasi sinar matahari, oksigen, kandungan mineral dan tingkat keasaman (PH), adalah beberapa penyebabnya. Dengan berkurangnya populasi ikan, ini juga berdampak secara luas pada siklus rantai makanan. Populasi satwa, di antaranya, akan ikut berkurang karena kehilangan makanan.
Menjaga kelestarian ekosistem sungai sama halnya dengan menghindari kepunahan generasi mendatang. Salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah dengan mencoba ramah pada alam dan hutan yang masih tersisa. Manusia harus bijak dalam memanfaatkan sumberdaya alam, agar bisa diwariskan pada anak cucu, kelak. (Bobby Berlianto)
1,8 Juta Hektar Hutan Gundul
Senin 18 September 2006 07:46:00
________________________________________
Author : Kompas
PALEMBANG, KOMPAS - Sekitar 1,8 juta hektar dari total 3,7 juta hektar kawasan hutan di Sumatera Selatan gundul akibat perambahan dan penebangan liar selama bertahun-tahun. Kerusakan hutan itu menganggu keseimbangan alam dan mengurangi daerah serapan air sehingga bisa memicu erosi, banjir, longsor, dan kekeringan.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan (Sumsel) Dodi Supriadi, mengungkapkan hal tersebut di sela-sela Dialog Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), di Palembang, Kamis (14/9). Hadir juga dalam acara itu Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Dukungan Pengawasan, Ahmad Sanusi.
Menurut Dodi Supriadi, 1,8 juta hektar yang gundul itu kondisinya memprihatinkan karena tidak ditumbuhi pohon-pohon besar yang bernilai ekonomis sekaligus memperkuat fungsi hidrologis bagi lingkungan. Kawasan itu hanya ditumbuhi semak belukar atau perdu yang tidak produktif. Kekayaan flora fauna pun hilang.
Di luar kawasan hutan, 2,3 juta hektar kawasan lindung milik masyarakat juga gundul. Kawasan yang umumnya berada di daerah aliran sungai (DAS) itu kehilangan fungsi menyimpan dan menahan air karena tidak ditumbuhi pepohonan besar lagi.
Untuk mengantisipasi kondisi itu, Pemerintah Provinsi Sumsel merehabilitasi 13.485 hektar hutan dan lahan selama tahun 2004-2005, dan saat ini sedang merehabilitasi 26.745 hektar. Rehabilitasi tahun 2007 ditingkatkan menjadi 69.500 hektar.
“Rehabilitasi dilakukan dengan menanam kayu-kayu hutan dan tanaman berbuah yang bermanfaat ganda. Kami usul, memasukkan tanaman karet sebagai kayu-kayuan. Masyarakat yang menanam karet di lahan kosong bisa ikut melestarikan lahan sekaligus menanen getah,” katanya.
Ahmad Sanusi menilai, program GNRHL masih tersendat banyak masalah, bahkan sebagian tersangkut kasus dugaan korupsi. Program tersebut dinilai belum efektif selama masih terjadi perusakan hutan melalui penebangan liar dan perambahan.
“Kami terus memantau, kenapa pencurian kayu masih terus berjalan, padahal pengawasan sudah ditingkatkan? Pencurian kayu merugikan negara sampai ratusan triliun rupiah sekaligus menganggu lingkungan,” katanya.
Menurut Data Dishut Sumsel, total luas areal hutan di Sumsel 3,7 juta hektar terdiri dari 539.645 hektar hutan lindung, 711.778 hektar hutan konservasi, dan 2,5 juta hektar hutan produksi. Luas hutan itu terus menyusut dan rusak, terutama akibat penebangan liar yang masih berlangsung hingga sekarang.
Sumber : Kompas, Kamis 14 September 2006
________________________________________
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar