Oleh Dr Ir Diah K Pranadji
Peneliti IPB
Dua puluh tahun lalu, ahli psikologi Amerika, Elkind, memperkenalkan sebuah istilah baru, yakni hurried children, untuk menggambarkan fenomena anak yang dipercepat perkembangannya. Salah satu cirinya adalah anak diberi berbagai aktivitas ekstrakurikuler setiap minggu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan di bidang akademis, sosial, olahraga, budaya, dan kemampuan psikologi.
Berbagai aktivitas tersebut dilakukan di bawah pengawasan orang tua.Bukan sekadar untuk bersenang-senang, tetapi lebih diarahkan pada pencapaian tujuan.
Anak-anak masa kini menghadapi apa yang seharusnya menjadi masalah orang dewasa lebih dini dalam kehidupannya. Tidak seperti anak-anak pada generasi lalu yang memiliki banyak waktu untuk bermain setelah pulang sekolah bersama teman-temannya, anak-anak sekarang sulit untuk mendapatkan waktu seperti itu. Penelitian Imam (2007) melaporkan bahwa sekitar 60 persen anak-anak di Jabodetabek lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengikuti kegiatan les sepulang dari sekolah.
Salah satu fenomena menarik adalah semakin mudanya usia penderita stres. Jika beberapa tahun yang lalu, stres lebih banyak dialami oleh usia produktif di atas 20 tahun, kini stres banyak diderita oleh anak usia remaja. Bahkan, dalam beberapa kasus, anak-anak diperkirakan telah mengalami stres. Beragam kegiatan yang tak jarang "dipaksakan" orang tua terhadap anak di luar jam sekolah antara lain adalah les privat, les piano, les musik, les kumon, klub olahraga, dan les ngaji.
Fenomena yang tak kalah menariknya adalah riset yang dilakukan tim peneliti dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema),Institut Pertanian Bogor (IPB), Diah K Pranadji dan Nurlaela (2009). Riset di kawasan Bogor itu melaporkan bahwa persentase anak yang masuk sekolah dasar ketika berumur kurang dari enam tahun cukup besar, yakni sekitar 40 persen.
Dari penelitian ini juga dilaporkan bahwa gejala stres yang sering kali dialami oleh anak sibuk adalah jantung berdebar kencang dan keras (46,7 persen); merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan kegiatan (43,3 persen); dan merasa sangat lemas/lesu/tidak memiliki tenaga (43,3 persen); mimpi buruk (33,3 persen); merasa sedih sekali dan ingin menangis (30,0 persen); merasa pegal-pegal pada leher/punggung/bahu (23,3 persen); merasa bingung/takut bila bertemu dengan orang lain (20,0 persen); merasa tidak tenang/tegang/cemas/terancam (20 persen); sering menjatuhkan/memecahkan barang/tersandung/terjatuh (20,0 persen); mengalami sulit tidur/tidak dapat tidur nyenyak seperti biasanya (16,7 persen); merasa tidak memiliki harapan/putus asa (16,7 persen); merasa dipaksa dengan sangat oleh orang lain (tertekan) (16,7 persen); merasa pusing/sakit kepala tanpa alasan yang jelas (6,7 persen); mengalami perubahan nafsu makan (6,7 persen); dan merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab (6,7 persen).
Sebanyak 73,3 persen anak sibuk berada dalam ketegori tingkat stres sedang. Tingkat stres sedang memberi arti bahwa gejala stres kadang-kadang dialami oleh anak. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat stres anak dalam penelitian ini antara lain adalah jumlah aktivitas di luar sekolah (dalam satu minggu); alokasi aktivitas di luar sekolah; serta alokasi waktu menonton televisi.
Penelitian ini juga melaporkan bahwa alokasi waktu terkait erat dengan persepsi anak terhadap suatu kegiatan. Jika anak menyukai kegiatan tersebut, waktu melaksanakannya tidak terasa lama dan melelahkan. Oleh karena itu, peneliti menyarankan aktivitas di luar sekolah anak sebaiknya beragam jenis dan tidak dilakukan lebih dari satu jam setiap harinya.
Sebelum menganjurkan untuk melakukan kegiatan di luar sekolah, sebaiknya orang tua menumbuhkan persepsi yang positif dalam diri anak terhadap kegiatan yang akan dilakukannya tersebut. Misalnya, memaparkan manfaat kegiatan tersebut bagi anak
(menyalurkan hobi, menambah teman, dan sebagainya). Orang tua tidak diperbolehkan menekan atau memaksa anak untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah.
Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa menonton televisi merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengurangi stres anak. Karena itu, tidak apa-apa memberikan kesempatan pada anak untuk menonton televisi. Namun, orang tua sebaiknya mendampingi anak dalam menonton televisi untuk memberikan arahan mengenai tayangan televisi dan supaya anak tidak terlalu lama menonton televisi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Yah mengapa sekarang telah ada yang namanya pembelajaran PAIKEm
agar anak merasa memperoleh ilmu sambil bermain......
Posting Komentar