D Zawawi Imran (2010) mengurai dengan amat indah pendapat Lewis Caroll tentang dongeng sebagai 'tanda kasih'. Dongeng adalah 'tanda kasih'. Berkisah dan mendongeng adalah memberi hadiah--tanda kepedulian dan keterbukaan. Mendongeng adalah memberi kesadaran pada pendengar tentang pengertian dan perasaan takjub, misteri dan penghormatan pada kehidupan. Dalam konteks pengalaman belajar-mengajar, apa yang disebut Zawawi Imran sebagai 'kepedulian dan keterbukaan' adalah tujuan pengajaran itu sendiri. Di satu sisi guru perlu lebih peduli terhadap perkembangan afektif dan psikomotorik siswanya, dan dalam waktu bersamaan juga harus memiliki maksud membuka pola pikir baru pada anak didik. Demikian pula, mendongeng adalah media yang paling efektif untuk menumbuhkan proses kepedulian dan keterbukaan guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar.
Ingin bukti lain? Kieran Egan (1989) melalui serangkaian risetnya yang sangat aplikatif membuktikan kebenaran bahwa dongeng mampu membuka hal-hal yang terselubung dalam benak siswa untuk lebih terbuka bahkan toleran. Bagi Egan, setiap elemen dari mata ajar yang dirumuskan dalam bentuk lesson design bisa dikembangkan menjadi sebuah dongeng, yang pada saat itu guru bisa lebih terbuka dan komunikatif dalam menyampaikan ide dasar sebuah konsep dan gagasan dalam bentuk dongeng. Sebagai salah satu pendekatan, dongeng adalah media yang paling efektif dalam mempertahankan imajinasi siswa yang sering terganggu dengan rasa malas karena terlalu banyak hal teknis yang harus mereka hafal ketika belajar. "What we call imagination is also a tool of learning--in the early years perhaps the most energetic and powerful one," (Egan: 1989, p 17).
Jika sebuah mata ajar dilakukan melalui pendekatan mendongeng, sebenarnya ingin mengembalikan kesadaran guru dan pendidik bahwa mengajar sebenarnya sama dengan mendongeng itu sendiri. Karena itu, keterampilan berkomunikasi dan merangkai cerita dari seorang guru akan sangat membantu mereka dalam membuktikan catatan Egan di atas. Pada awalnya memang akan terasa sangat berat. Tetapi seiring dengan seringnya pendekatan ini digunakan, guru paling tidak akan mengalami dua keuntungan sekaligus. Yakni, kemampuan berkomunikasinya berkembang dan keinginan untuk terus membaca sebanyak mungkin juga akan meningkat. Sebagai langkah awal, baik jika para guru sesekali mengikuti kursus mendongeng yang saat ini mulai tumbuh di beberapa kota seperti Bandung dan Denpasar.
Secara teknis, bagaimana sesungguhnya merangkai rencana pembelajaran (lesson design) dengan menggunakan pendekatan mendongeng? Harus diingat bahwa tugas guru adalah mengantarkan gagasan atau ide ke dalam benak siswa. Jika sebuah gagasan atau konsep tentang tema tertentu dalam sebuah mata ajar telah teridentifikasi, tugas guru selanjutnya adalah membuat sebanyak mungkin pertanyaan tentang kondisi aktual siswa mereka agar apa yang ingin disampaikan akan mengena. Jika menyangkut sebuah gagasan, ajaklah siswa untuk berpikir dari dua sudut pandang seperti baik dan buruk, kaya dan miskin, serta kebebasan dan perbudakan. Lalu guru dapat merangkai gagasan tersebut dalam sebuah cerita atau dongeng yang berkaitan dengan gagasan tentang tema yang ingin diajarkan. Pada akhir pelajaran, guru sebaiknya memberikan kesimpulan tentang gagasan tersebut secara terbuka, bisa dalam bentuk resolusi, evaluasi, pemahaman terhadap hal-hal yang penting, serta jangan lupa kembali kepada substansi gagasan yang dipelajari siswa hari itu.
Dengan menggunakan format seperti ini guru diyakinkan untuk memercayai bahwa dongeng atau cerita bisa dimasukkan ke semua bentuk mata ajar dari mulai bahasa, kesenian, sains, matematika, dan ilmu sosial lainnya. Sebagai sebuah pendekatan, menggunakan dongeng atau cerita sesungguhnya akan membuat para guru tertantang untuk memahami konstruksi psikomotorik dan afektif siswa secara cerdas dan bertanggung jawab. "A model for teaching that draws on the power of the story, then, will ensure that we set up a conflict or sense of dramatic tension at the beginning of our lessons and units. Thus we create some expectation that we will satisfy at the end" (Egan, 1989).
Manfaat lain dari pendekatan ini akan menyebabkan siswa terbiasa untuk mengoleksi sebanyak mungkin 'arti' dari sebuah cerita, yang pada akhirnya anak akan terbiasa untuk bersikap peduli, terbuka, dan toleran. Alasannya sangat sederhana, bahwa nilai-nilai kepedulian, keterbukaan, dan toleransi hanya bisa tersimpan di dalam memori 'rasa' seorang anak, yang salah satunya bisa disuburkan melalui persemaian dongeng dan cerita yang menggugah ranah afektif dan psikomotorik siswa. Seperti kata Aristoteles, "There is nothing in the mind except that which has passed through senses"
Ingin bukti lain? Kieran Egan (1989) melalui serangkaian risetnya yang sangat aplikatif membuktikan kebenaran bahwa dongeng mampu membuka hal-hal yang terselubung dalam benak siswa untuk lebih terbuka bahkan toleran. Bagi Egan, setiap elemen dari mata ajar yang dirumuskan dalam bentuk lesson design bisa dikembangkan menjadi sebuah dongeng, yang pada saat itu guru bisa lebih terbuka dan komunikatif dalam menyampaikan ide dasar sebuah konsep dan gagasan dalam bentuk dongeng. Sebagai salah satu pendekatan, dongeng adalah media yang paling efektif dalam mempertahankan imajinasi siswa yang sering terganggu dengan rasa malas karena terlalu banyak hal teknis yang harus mereka hafal ketika belajar. "What we call imagination is also a tool of learning--in the early years perhaps the most energetic and powerful one," (Egan: 1989, p 17).
Jika sebuah mata ajar dilakukan melalui pendekatan mendongeng, sebenarnya ingin mengembalikan kesadaran guru dan pendidik bahwa mengajar sebenarnya sama dengan mendongeng itu sendiri. Karena itu, keterampilan berkomunikasi dan merangkai cerita dari seorang guru akan sangat membantu mereka dalam membuktikan catatan Egan di atas. Pada awalnya memang akan terasa sangat berat. Tetapi seiring dengan seringnya pendekatan ini digunakan, guru paling tidak akan mengalami dua keuntungan sekaligus. Yakni, kemampuan berkomunikasinya berkembang dan keinginan untuk terus membaca sebanyak mungkin juga akan meningkat. Sebagai langkah awal, baik jika para guru sesekali mengikuti kursus mendongeng yang saat ini mulai tumbuh di beberapa kota seperti Bandung dan Denpasar.
Secara teknis, bagaimana sesungguhnya merangkai rencana pembelajaran (lesson design) dengan menggunakan pendekatan mendongeng? Harus diingat bahwa tugas guru adalah mengantarkan gagasan atau ide ke dalam benak siswa. Jika sebuah gagasan atau konsep tentang tema tertentu dalam sebuah mata ajar telah teridentifikasi, tugas guru selanjutnya adalah membuat sebanyak mungkin pertanyaan tentang kondisi aktual siswa mereka agar apa yang ingin disampaikan akan mengena. Jika menyangkut sebuah gagasan, ajaklah siswa untuk berpikir dari dua sudut pandang seperti baik dan buruk, kaya dan miskin, serta kebebasan dan perbudakan. Lalu guru dapat merangkai gagasan tersebut dalam sebuah cerita atau dongeng yang berkaitan dengan gagasan tentang tema yang ingin diajarkan. Pada akhir pelajaran, guru sebaiknya memberikan kesimpulan tentang gagasan tersebut secara terbuka, bisa dalam bentuk resolusi, evaluasi, pemahaman terhadap hal-hal yang penting, serta jangan lupa kembali kepada substansi gagasan yang dipelajari siswa hari itu.
Dengan menggunakan format seperti ini guru diyakinkan untuk memercayai bahwa dongeng atau cerita bisa dimasukkan ke semua bentuk mata ajar dari mulai bahasa, kesenian, sains, matematika, dan ilmu sosial lainnya. Sebagai sebuah pendekatan, menggunakan dongeng atau cerita sesungguhnya akan membuat para guru tertantang untuk memahami konstruksi psikomotorik dan afektif siswa secara cerdas dan bertanggung jawab. "A model for teaching that draws on the power of the story, then, will ensure that we set up a conflict or sense of dramatic tension at the beginning of our lessons and units. Thus we create some expectation that we will satisfy at the end" (Egan, 1989).
Manfaat lain dari pendekatan ini akan menyebabkan siswa terbiasa untuk mengoleksi sebanyak mungkin 'arti' dari sebuah cerita, yang pada akhirnya anak akan terbiasa untuk bersikap peduli, terbuka, dan toleran. Alasannya sangat sederhana, bahwa nilai-nilai kepedulian, keterbukaan, dan toleransi hanya bisa tersimpan di dalam memori 'rasa' seorang anak, yang salah satunya bisa disuburkan melalui persemaian dongeng dan cerita yang menggugah ranah afektif dan psikomotorik siswa. Seperti kata Aristoteles, "There is nothing in the mind except that which has passed through senses"